PWMU.CO – Kaya mendadak itu langka. Namun keberhasilan yang datang tanpa perjuangan justru membuahkan jiwa-jiwa rapuh. Sukses lewat jalan pintas justru bisa menjadi awal malapetaka.
Tidak bermaksud menggurui, tapi tidak ada salahnya kalau kita renungkan bersama, di tengah fenomena ‘kerja ambisius’ belakangan yang kian memprihatinkan. Di satu sisi, fenomena itu positif sebagai indikator etos kerja tinggi, namun di sisi lain, caranya sudah kebablasan. Sikut sana sikut sini, suap sana suap sini, bahkan teman dan saudaranya sendiri dijadikan bahan korban demi ambisinya. Fenomena itu tak hanya mewabah di tingkat elit di Jakarta, tapi juga sudah menjalar ke segala lini di sekitar kita.
Tak dipungkiri tiap orang memang memimpikan bisa segera sukses, kaya raya, jadi orang besar, atau jadi orang tenar dan dipuja-puja banyak orang. Bahkan tak sedikit dari politisi menggunakan uang untuk bisa meraih jabatan prestis, artis pakai jalan pintas (by pass) untuk jadi tenar seketika meski harus mengorbankan harga dirinya, pengusa pakai suap untuk dapat proyek, dan lainnya. Juga anak buah ‘ngatok’, menjilat ke bosnya hanya agar bisa dapat posisi, meski harus melukai hati teman-temannya sendiri.
Ya, itu bisa dimaklumi karena memang sangat manusiawi. Lagian, tak sedikit dari mereka menempuh cara itu, kini juga tengah berpesta pora menikmati upaya instannya. Meski tak sedikit dari mereka juga menyadari kalau pesta poranya itu tak menutup kemungkinan akan berjalan sementara akibat dipenjara, anaknya terlibat narkoba, atau perkara lain. Akhirnya, impian bisa hidup enak harus dibayar dengan dengan kehancuran di hari tuanya.
Kata BAHAGIA sering kali jadi alasan bagi mereka untuk nekad menggunakan jalan by pass seperti itu. Ya, “kalau kaya kan nanti hidup jadi bahagia,” demikian salah satu contoh jawabannya. Padahal banyak orang sudah membuktikan bahwa bahagia itu tidak ditentukan oleh seberapa banyak harta kita, tingginya posisi atau jabatan kita. Tapi….. Kebahagiaan lebih tergantung cara pandang kita dalam memandang kenyataan.
Kalau bahagia ditentukan seberapa banyak harta atau jabatan, mengapa banyak artis muda harus bunuh diri, justru di saat berada di puncak-puncak karirnya dan bergelimangan harta seperti artis Hollywood Robin Williams, begitu juga Brian Bianchini.
Saya pernah ngobrol sama seorang pejabat penting di Jatim, yang sampai sekarang masih punya pengaruh di provinsi meski sudah purna. Namanya tidak perlu saya sebutkan karena pasti akan kenal siapa dia. Ia adalah sosok ideal menurut teman-temannya, juga masyarakat Jawa Timur. Hartanya berlimpah, tanahnya berhektar-hektar. Mobilnya apalagi. Orang lain tentu menganggap ia sudah sangat bahagia. Namun apa yang terjadi, dari obrolan itu, ia justru mengaku tidak bahagia. Putrinya yang disayang dan dinikahkan dengan pesta besar-besaran, ternyata rumah tangganya berantakan. Cerai !!!.
Ia merasa tidak bahagia. Perasaan itupun menjalar dalam hidupnya secara kesuluruhan karena telah jadi kesimpulan hidupnya, padahal ia punya harta berlimpah, rumahnya di mana-mana. Itu juga tak menutup kemungkinan terjadi pada kita, dalam hal lain. Kalau rumah tangga berantakan anaknya jadi ukuran ketidakbahagiaan, kenapa Nabi Muhammad SAW tetap bahagia? Padahal anak angkat Nabi bernama Zaid bin Haritsah juga cerai, dan Nabi sendirilah yang menikahkan dengan Zainab?
Jadi, menurut saya kesimpulan tentang hidup ini penting karena itu akan jadi start pointnya untuk selanjutnya. Kata Mario Teguh, “Seburuk-buruk apa pun masa lalumu, masa depanmu masih suci”. Saya setuju dengan Mario Teguh. Harus tetap optimis. Tak ada salahnya untuk bermimpi lagi di saat kita dalam kondisi terpuruk sekalipun. Mengingat, semuanya ternyata berawal dari mimpi. Mimpi itulah yang akan melahirkan cita-cita, yang kemudian menjelma jadi pemikiran, yang akan mengubah kemungkinan serta harapan. Kemungkinan yang digerakkan oleh keyakinan tentu akan menjadi kenyataan. Bukankah karya-karya besar dunia lahir dari sebuah mimpi yang ditenagai keyakinan? Hasilnya, jadi pesawat, lampu, naik ke bulan, padahal awalnya dipandang mustahil??????
Catatan untuk Jumat Barokah By Roudlon Fauzani, admin pwmu.co