Perempuan Islam Perlu Melek Politik, liputan kontributor PWMU.CO Wulidatul Aminah
PWMU.CO – Setelah agenda sosialisasi empat pilar MPR RI disampaikan Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, agenda selanjutnya yakni tanya jawab dan diskusi. Kegiatan ini bertempat di Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Jumat (5/5/2023).
Penanya pertama, dari PDNA Kota Malang Yunda Annisa Rosidah. Dia bertanya, “Mengapa Program Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) hanya untuk tenaga kesehatan dan pendidik, sedangkan selain itu menjadi PNS, padahal yang kita tahu tenaga kesehatan dan pendidik adalah tenaga urgen?”
“Pertanyaan kedua, yang sudah kita ketahui bersama problematika di Kemenag, untuk bisa bersertifikasi mengantrenya lama, padahal kami lihat rekan kami di Kemendikbud sudah banyak yang bersertifikasi, bagaimana yang demikian itu, Prof?” tanya Annisa, sapaan akrabnya.
Pertanyaan berikutnya disampaikan dari PDNA Kabupaten Trenggalek Yunda Imroatul Muzayyanah. Iim, sapaan akrabnya, mengungkap waktu kecil dirinya menganggap Partai Amanat Nasional (PAN) adalah milik Muhammadiyah, namun kenapa sekarang katanya PAN milik nasional.
“Itu yang pernah saya dengar waktu kecil Prof, dan waktu besar seperti sekarang, kok sudah berubah,” ungkapnya.
Tak hanya itu, sambung dia, “Kenapa politik selalu disangkutpautkan dengan duit (uang), apalagi di kota kami yang minim pengetahuan politik, apa langkah yang harus kami lakukan untuk memberi pemahaman tentang politik kepada orang di sekitar kami?”
Fungsi Mulia Politik
Prof ZM, sapaan akrabnya, menjawab pertanyaan pertama, menjelaskan, alokasi dana pendidikan negara kita 600 triliun banyaknya. 10 persen dikelola Kemenag, 13 persen dikelola Kemendikbud, serta sisanya disalurkan kepada lembaga pendidikan negara yang lain.
“Dengan dana yang begitu besarnya, saya kurang tahu kenapa sampai ada permasalahan seperti yang dialami Mbak Annisa dan teman-teman yang lain khususnya guru PAI,” ujarnya.
Kalau politik itu dari duit ke duit, lanjutnya, politik itu sebenarnya adalah lembaga yang memiliki misi dan fungsi yang sangat mulia, tetapi dalam praktiknya banyak politisi yang tidak waras.
“Makanya, kalau anda melihat saya, saya waras tidak?” tanyanya sambil tersenyum.
“Supaya saya terlihat waras, maka rekam jejak saya, saya tulis dalam sebuah buku yang berjudul Menyuarakan Kewarasan Publik dalam Politik,” ujar anggota MPR RI Komisi X ini.
Dia menuturkan, dirinya di MPR punya hasil survei lebih rendah dibanding temannya yang punya kebiasaan 4D (datang, duduk, diam, duit). “Surveinya lebih bagus dari saya, padahal saya, kepala untuk kaki, kaki untuk kepala, masuk terus.”
Pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Award 2022, sambungnya, dia berhasil mendapat penghargaan DPR RI, kategori anggota MPR yang kinerjanya positif. “Dalam penghargaan tersebut, saya dinilai dapat meningkatnya harga martabat dan Kehormatan DPR, nah, kenapa hasil survei rendah? Di itu saya bertanya-tanya, kok bisa?”
Menurutnya, masyarakat kita juga perlu ditingkatkan kewarasannya. Seperti Pemilu, dari rumah mereka berangkat ke TPS dengan niat bismillahirrohmanirrahim, tapi sampai TPS, sudah ada yang namanya Jitus (siji satus). Ada lagi NPWP (Nomer Piro Wani Piro).
“Sudah kita ketahui bersama, ada yang sudah berani memberikan imbalan, dan lagi, ujung-ujungnya duit,” ujarnya.
Negeri Paradoks
Prof ZM menyampaikan, negeri kita sedang menghadapi paradoks. Bayangkan negeri sekaya ini, tapi warganya masih ada yang jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tentu ada banyak alasan yang menyebabkan itu semua.
“Yang pernah saya tahu, menjadi kuli di negara Malaysia, bisa mendapat gaji 500.000 ringgit. Nah, dari situ saja, kemudian mengapa di sana gampang tapi di negara sendiri sulit?”
Untuk itu, ajaknya, ayo kita perbaiki literasi politik bangsa ini, Nasyiah harus ada di posisi terdepan, menjadikan putri Islam yang siap membangun negara, keluarga bangsa dan negara sesuai dengan nilai-nilai Islam yang berkemajuan.
Juga menjawab pertanyaan kedua,”Apakah PAN milik Muhammadiyah? PAN merupakan hasil Tanwir Muhammadiyah.” (*)
Co-Editor Ichwan Arif. Editor Sugeng Purwanto.