Huntap Korban Erupsi Semeru, Mereka Mengenang Muhammadiyah oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan.
PWMU.CO– Di sela tugas visitasi akreditasi, Jumat (12/5/2023), saya bersama teman asesor, Pak Saladin, mengunjungi hunian tetap (huntap) para penyintas erupsi Gunung Semeru.
Erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 mengubur beberapa desa di Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang. Hunian tetap yang dibangun di Desa Sumber Mujur itu tempat relokasi korban erupsi. Mereka mendapat rumah pengganti dari pemerintah bekerja sama dengan Muhammadiyah dan sejumlah organisasi lainnya.
Desa Sumber Mujur memang benar-benar mujur alias beruntung. Tidak terkena dampak letusan gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Menurut penduduk setempat, ceruk yang membentang dari utara ke selatan di antara perbukitan dan desa ini menyelamatkan banjir lahar dan awan panas yang menyembur.
Perjalanan dari homestay ke lokasi Huntap hanya 10 menit. Setelah pertigaan desa wisata Sumber Mujur bisa terlihat area persawahan dan kebun yang meluber hingga ke lokasi.
Huntap berada di bekas hutan pinus yang sudah disulap menjadi perumahan. Deretan rumah bagus tipe 36 rapi berjajar. Terbagi-bagi dalam banyak ruas yang terpisahkan oleh perempatan jalan utama dan gang-gang perumahan.
Pohon-pohon pinus masih gagah memagari pinggiran jalan. Di sebagian rumah terdapat tulisan besar besar Ormas pada tembok luar. Hunian tetap ini belum diresmikan. Pemerintah masih menyiapkan fasilitas yang lain; stadion, mall, taman bermain anak, pendidikan dan sejumlah fasilitas lain yang layaknya dibutuhkan oleh entitas masyarakat.
Rumah-rumah hanya ditandai dengan simbol perusahaan pengembang beserta huruf dan nomor rumah sesuai bloknya.
Terasa Sempit
Pembangunan huntap menggunakan teknologi rumah instan sederhana (RISHA). RISHA adalah teknologi konstruksi knock down yang dapat dibangun dengan waktu cepat menggunakan bahan beton bertulang pada struktur utamanya.
Sebanyak 1.951 unit dibangun senilai dengan Rp 350,55 miliar pada Januari 2022 dan selesai untuk dihuni oleh penerima manfaat sebelum Idul Fitri 2022 lalu. Para penerima manfaat tersebut berasal dari tujuh desa di Kabupaten Lumajang yakni Desa Sumbersari, Desa Kebondeli Utara, Desa Kebondeli Selatan, Desa Curah Koboan, Desa Gumukmas, Desa Kamarkajang, dan Desa Kajar Kuning.
Di balik deretan rumah, Gunung Semeru pada pukul setengah enam pagi itu masih tertidur pulas berselimut awan tebal setelah sepajang sore hingga malam hari sebelumnya terguyur hujan. Udara dingin memagut badan. Saya diajak mampir ke rumah seorang teman dari guru yang mengantar.
Pak Samsudin, salah satu penerima manfaat huntap menerima kami lesehan di ruang depan. Bersama istrinya, Mita Rosalia, dan lima anaknya, dia mengenang masa berat dan sulit saat erupsi terjadi.
“Dulu kami tinggal di rumah besar dan luas dengan lahan pertanian lebih dari 1,5 hektare. Semuanya tak bersisa. Tinggal di rumah seperti ini sekarang terasa sangat sempit,” katanya dalam logat Madura medok sambil tersenyum getir.
Tidak Abal-Abal
Dulu Samsudin hidup cukup berada di Desa Curah Kobokan. Rumah dan ladangnya habis dalam sesaat oleh awan wedus gembel yang menurunkan debu panas bersamaan dengan membanjirnya lahar dingin bergumpal-gumpal.
Area persawahan dengan tanaman padi dan tebu ludes bersama rumah dengan segala isinya. Sisa lahan 80 x 20 meter persegi sudah tidak menghasilkan apa-apa lagi.
Kini dia harus menerima kenyataan. Hidup di rumah sederhana tanpa perabotan. Sehari-hari hidupnya ditopang dari hasil kerjanya sebagai penjaga dan mendistribusi pasir milik penambangnya. Sehari rata- rata mendapat antara 2-10 truk sekitar Rp 5 ribu/rit.
“Apakah bantuan masih datang sampai sekarang?” tanya saya.
“Pernah sekali menjelang Ramadhan kemarin.”
“Dari mana, Pak?”
“Ada dari NU uang dua ratus ribu dan Muhammadiyah 5 kg beras,” jawabnya.
Saya hanya diam mendengar jawabannya. Dari ibu kepala madrasah saya mendapat sedikit penjelasan tentang kiprah Muhammadiyah saat itu.
“Muhammadiyah tidak abal-abal kalau membantu,” katanya.
“Maksudnya?” tanya saya.
“Ya, kalau yang lain itu sekadar datang menyerahkan bantuan ditaruh begitu saja. Kalau Muhammadiyah benar-benar diberikan sampai sasaran, dikawal dan didampingi,” jelasnya lebih lanjut. Saya tidak mau bertanya lebih jauh lagi.
Saat itu kehadiran Muhammadiyah memberi bantuan kepada korban bencana tidak sekadar datang, memberi, mendokumentasikan, lalu pergi. Tapi bantuan yang diberikan berkelanjutan seperti yang terlihat di Desa Sumbermujur, lokasi relokasi penyintas letusan Gunung Semeru. Para relawan Muhammadiyah itu tergabung dalam MDMC dan Lazismu. Namun tidak ada satupun di antara huntap yang bertuliskan Lazismu.
Masih Berharap Peran Muhammadiyah
Awan panas Gunung Semeru yang memapar penduduk lalu masih menyisakan duka. Ketika para penyintas sudah memiliki tempat tinggal, bukan berarti mereka telah lepas dari duka. Mereka masih membutuhkan uluran tangan untuk membantu mengangkat harkat hidup mereka sehari hari. Masih kuat dalam ingatan sebagian penyintas peran besar Muhammadiyah saat itu.
Penyintas korban bercerita, melalui MDMC dengan dukungan Lazismu, Muhammadiyah membangun huntara (hunian sementara). Sebanyak 200 Huntara dibangun. Lembaga penanggulangan bencana Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) hampir satu bulan melakukan aktivitas evakuasi dan pendampingan masyarakat terdampak di lereng Semeru hingga tiga bulan berikutnya.
Selain logistik juga kesehatan. Rumah-Rumah Sakit Muhammadiyah di Jawa Timur melayani masyarakat door to door datang meninjau kesehatan karena memang masyarakat itu mengungsinya di rumah-rumah penduduk di sekitar.
Selama tiga bulan itu Muhammadiyah melibatkan relawan dan psikolog dari berbagai Universitas Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk memulihkan mental masyarakat, terutama anak-anak dan lansia dan merotasi relawan dirotasi selama dua pekan sekali.
Semuanya itu membekas dan menimbulkan kesan mendalam di hati para penyintas. Kini di huntap mereka berharap tidak sekadar mengenang tapi Muhammadiyah masih tetap datang membawa bantuan.
Editor Sugeng Purwanto