Menyambut Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2023 Matan membuat laporan utama tentang itu. Berikut review-nya untuk PWMU.CO.
PWMU.CO – Di tengah maraknya budaya koruptif dan demoralisasi masyarakat belakangan ini, makna dan relevansi Kebangkitan Nasional pantas untuk dipertanyakan. Jangan-jangan setiap momentum itu hanya dijadikan narasi dan retorika belaka para pejabat publik yang telah kehilangan marwah dan kepercayaan? Masyarakat pun resah sebab mendapatkan limbah dan getah dari perilaku elite yang tidak genah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengatakan, Indonesia heboh atas pamer kekayaan para keluarga pejabat pemerintahan di tengah banyak rakyat hidup kesusahan. Publik hanya mengelus dada, dari mana uang para petinggi negeri itu berasal dan mengapa mesti gelimang kemewahan.
Kesenjangan dan Korupsi yang Mengakar
Demikian pula soal kesenjangan ekonomi di tengah penguasaan lahan dan kekayaan Indonesia yang terkuras besar-besaran di seluruh pelosok negeri oleh para pihak yang menguasai jantung oligarki ekonomi, yang merambah ke oligarki politik. Area ini akan tetap menjadi kisah buram Indonesia, meski menyangkut hajat hidup terbesar bangsa dan negara. Selain masalah besar mafia yang menjalar ke mana-mana.
“Adakah para nasionalis Indonesia berteriak lantang soal-soal rawan yang menyangkut nasib Indonesia ke depan itu? Selantang bersuara tentang bahaya radikalisme dan terorisme yang terus direproduksi dengan nada tinggi,” tanya Haedar seperti yang ditulisnya dalam Refleksi di laman Republika.id, Sabtu (25/3/2023).
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menguraikan, Indonesia saat ini sebenarnya tidak baik-baik saja. Potret korupsi yang masih memprihatinkan di tengah usaha pemberantasan yang tidak tangguh dan tidak terarah, beban Indonesia ke depan makin berat. Apalagi soal dana APBN yang makin berat di tengah utang luar negeri yang sangat besar, kesenjangan sosial ekonomi, pengurasan sumber daya alam, uang pajak yang disalahgunakan, BUMN yang merugi, mafia yang menjalar di banyak aspek, dan berbagai problem ekonomi yang meniscayakan Indonesia mengencangkan ikat pinggang sekaligus waspada tingkat tinggi.
Beban politik Indonesia tidak kalah berat. Dijelaskan, demokrasi Indonesia terkorupsi oleh politik uang, transaksional, dan oligarki politik yang melemahkan dan menjadi virus ganas demokrasi itu sendiri. Termasuk pembelahan politik yang terus diawetkan demi meraih kesuksesan politik para pihak.
“Kematian demokrasi yang dibajak untuk melanggengkan kekuasaan dan praktik politik otoritarian. Pelemahan norma demokrasi dan polarisasi partisan oleh praktik politik ekstrem. Politik yang mematikan sukma egalitarianisme, kesantunan, rasa kebebasan, dan tujuan hidup bersama,” terangnya.
Ultranasionalisme Ancam Negara Pancasila
Dalam pengamatan Haedar, banyak perilaku anak bangsa dan kondisi negeri yang sejatinya mengandung virus saat ini sebagai ancaman serius yang dapat menggerogoti eksistensi Negara Pancasila ini. Kaum nasionalis pengkhidmat Indonesia dari mana pun asalnya, mesti membuka mata hati yang lapang akan ancaman Indonesia lebih dari sekadar isu-isu keagamaan yang tidak jarang terlalu dipolitisasi dan didramatisasi secara tendensius seperti masalah politisasi agama, politik identitas, radikalisme, sampai negara khilafah.
Umat beragama pun jangan terjebak pada polarisasi dan konstruksi serupa atau malah menunjukkan bukti nyata bila betul-betul beragama dengan benar, baik, cerdas, dan mencerahkan sehingga tampil otentik dalam keberagamaan. Umat beragama tidak menjadikan agama sebagai sumber segala bentuk politisasi dan radikalisasi yang mengancam eksistensi Negara Pancasila dan kehidupan bersama, tulisnya.
“Hal yang sama juga berlaku bagi golongan atau komponen bangsa secara keseluruhan. Pandangan kebangsaan atau nasionalisme tidak terjebak pada radikalisme dan ekstremisme sehingga menjadi ultranasionalisme, yang muaranya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Bung Karno sendiri menentang paham chauvinisme, yang menganggap diri bangsa Indonesia paling mulia dibanding bangsa lain, yang menunjukkan jangan sampai nasionalisme mengandung paham radikal-ekstrem,” terangnya.
“Ancaman Indonesia bukan hanya datang dari ideologi dan kekuatan luar, tetapi juga karena pengeroposan dan penggerogotan tubuhnya dari dalam ibarat kanker yang terus mengganas dari stadium satu hingga stadium empat yang ujungnya menuju kematian Indonesia. Seluruh pihak wajib mencegah segala bentuk ancaman itu agar Indonesia tetap berdiri tegak sebagai Negara Pancasila yang mengandung lima nilai utama yang harus diwujudkan di dunia nyata,” simpulnya.
Lunturnya Spirit Kebangkitan Nasional
Sementara itu, pakar Politik Universitas Indonesia Dr Chusnul Mar’iyah, menjelaskan Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh lahirnya Budi Utomo 20 Mei 1908, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air. Di antaranya, pertemuan-pertemuan para ulama dan berdirinya Sarekat Dagang Islam tahun 1905. Gerakan kebangkitan ini kemudian berlanjut dengan didirikannya Muhammadiyah tahun 1912, Aisyiyah 1917, Nahdlatul Ulama tahun 1926, Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Kongres Perempuan pada 22 Desember 1928.
“Di masa pra kemerdekaan, Indonesia masih berada di bawah konsep kolonialisme yang menekankan white supremacy (ideologi supremasi kulit putih), slavery system (perbudakan), dan eksploitasi sumber daya alam. Negara-negara dikapling oleh barat. Mereka menggunakan legal sistem dengan de jure prudent (pengakuan hukum), dan melakukan penguasaan tanah. Ditambah lagi, era kolonialisme bersamaan dengan the abolisition of caliphate (pembubaran kekhalifahan) di Turkey, 3 Maret 1924, yang berdampak pada menghabisi Islam sebagai sistem politik,” katanya.
“Kebangkitan Nasional menjadi cita-cita dari para tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asyari untuk keluar dari penjajahan. Menunjukkan kekuatan Islam menjadi kekuatan dahsyat dalam melepaskan diri dari penjajahan. Demikian pula peran militer yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman, seorang guru dari Persyarikatan Muhammadiyah. Gerakan dan pemikiran mereka menjadi penting dalam perjalanan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Hingga menghasilkan Jakarta Charter (Piagam Jakarta) yang poin utamanya adalah pembukaan UUD 1945 yang mengandung tujuan negara dan Pancasila,” terangnya.
Saat ini, papar Chusnul, bangsa Indonesia malah terlihat menjauh dari spirit kebangkitan nasional yang diimpikan oleh para pendahulu. Misalnya di sektor demokrasi, kini mengalami kemunduran. Penyampaian pendapat yang berseberangan dengan istana, dianggap ancaman bagi rezim yang mengakibatkan pasal-pasal hukum digunakan untuk meminggirkan suara yang berbeda dengan istana. Ulama dan aktivis dipenjarakan. Islamophobia menjadi wajah rezim dengan para pendukungnya. Sementara institusi politik seperti Parpol, tidak bisa menjadi chanelling kepentingan rakyat.
“Saya sudah sampaikan setelah pemilu 2004, saya mengatakan democracy in danger (demokrasi dalam bahaya). Saat itu saya melihat indikator seperti weak rule of law: korupsi, abused of power, criminality, lawlesness. Itu diperparah dengan hutang luar negeri yang semakin menumpuk. Policy (kebijakan) lebih pro ke bandar dan kepentingan oligarki ekonomi dalam ruang kerangka model liberalisme dan kapitalisme. Hal itu jauh dari nilai-nilai Pancasila. Kesemuanya core persoalannya adalah leadership yang kurang amanah terhadap visi dan misi konstitusi,” kritik Chusnul.
Dia juga tidak melihat tanda-tanda kebangkitan nasional dalam bidang hukum. Dia tak menampik adanya ketegasan putusan hukum dalam dua kasus jenderal polisi, Sambo dan Teddy Minahasa, yang viral akhir-akhir ini. Namun, putusan itu belum bisa dijadikan tolak ukur perbaikan hukum di Indonesia. Melainkan sebagai balasan dari Tuhan bagi mereka yang kerap kali merekayasa hukum. Jadi, adanya kasus-kasus tersebut justru mendemonstrasikan kejahatan-kejahatan aparatus negara.
Jauhnya penegakan hukum dari nilai-nilai kebangkitan nasional juga ditunjukkan dengan banyaknya kasus penguasaan tanah. Sejumlah oknum pejabat menggunakan pasal-pasal hukum melindungi para korporasi dibandingkan kepentingan rakyat. Selain itu, rezim kerap kali menggunakan pasal-pasal untuk meminggirkan kelompok yang bersuara berbeda dengannya. “Penegak hukum tidak bisa lagi hanya menjadi cap legitimasi saja. Apakah konsisten dalam proses peradilannya? Kita perlu terus mengawasi,” tekannya.
Pada konteks hukum, pemberantasan korupsi menjadi faktor paling penting dalam menegakkan kebangkitan nasional. “Seperti Kasus asuransi, kasus BLBI, dan kondensat. Ada juga kasus eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh kelompok tertentu atas nama investasi asing yang terjadi di Kolaka, sulawesi tengah dan di Maluku Tengah. Para koruptor sejati kelas kakap ini banyak yang lepas. Lagi-lagi menggunakan pasal-pasal hukum untuk kepentingan korporasi. Baik dalam negeri maupun asing dan elit politik di Indonesia,” ungkapnya.
Lantas apa peran yang bisa diambil Muhammadiyah dalam mewujudkan kebangkitan nasional? Baca selengkapnya di Matan Edisi Mei 2023. Info pemesanan: Oki 08813109662. (*)
Kebangkitan Nasional Terserang Virus Demokrasi dan Ekonomi Liberal; Penulis Miftahul Ilmi Editor Mohammad Nurfatoni