Meluruskan Kesalahpahaman Thomas Djamaluddin pada Tajdid Muhammadiyah; Oleh Miqdam Awwali Hashri; Anggota Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Pusat Muhammadiyah
PWMU.CO – Belum lama ini Muhammadiyah dituduh membungkam kritik setelah melaporkan ujaran kebencian yang dilakukan peneliti Badan Riset Inovasi Nasioal (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin (APH). Tuduhan oleh Thomas Djamaluddin ini merupakan bentuk salah kaprah yang telah mengakar dalam alam bawah sadarnya. Dia mencoba membandingkan kritiknya terhadap kriteria wujudul hilal dengan dakwah Muhammadiyah dalam memberantas Takhayul, Bid’ah, Churafat (Kurafat) yang biasa disingkat dengan TBC (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2023/05/17/catatan-untuk-komnas-ham-atas-aduan-lbh-muhammadiyah/).
Namun logika komparasi yang ia gunakan ternyata tidak tepat. Muhammadiyah sejak kelahirannya telah mencirikan diri sebagai gerakan Islam amar makruf nahi mungkar dan tajdid. Menurut Prof Yunahar Ilyas (alm), semangat tajdid yang diusung oleh Muhammadiyah digolongkan ke dalam dua hal, yaitu purifikasi dan dinamisasi.
Purifikasi kaitannya dalam hal pemurnian akidah (pemurnian dari syirik), ibadah (pemurnian dari bid’ah), dan akhlak (pemurnian dari perilaku yang menyimpang).
Sedangkan dinamisasi—atau bisa disebut juga dengan modernisasi—yaitu kaitannya dalam hal urusan keduniawian. Kedua hal ini, baik purifikasi maupun dinamisasi dilakukan secara seimbang sehingga ajaran Islam dapat diaplikasikan secara aktual dan fungsional sesuai dengan zamannya. Oleh sebab itu, bid’ah hanya ada dalam ibadah mahdhah, bukan pada wilayah budaya, sains, dan teknologi.
Hisab Kriteria Wujudul Hilal Bukan Bid’ah
Kaitannya dengan penggunaan hisab kriteria wujudul hilal yang dituding bid’ah oleh Thomas Djamaluddin sebagaimana yang ia tulis dalam blog pribadinya (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-muhammadiyah-memilih-tafarruq/), tentu tidak sejalan dengan prinsip tajdid yang telah dijelaskan di atas. Argumentasinya jelas, bahwa penggunaan hisab maupun metode lain seperti rukyat dalam penentuan awal bulan, merupakan bagian dari dinamisasi atau modernisasi sehingga tidak mengenal istilah bid’ah di dalamnya.
Sejak semula Muhamamdiyah telah berpandangan, bahwa penentuan awal bulan hijriah, baik itu menggunakan hisab maupun rukyat, bukanlah termasuk dalam kategori ta’abudi melainkan bersifat ta’aquli.
Bagi Muhammadiyah, esensi ibadah yang bersifat ta’abudi terletak pada perintah ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana rukun Islam. Adapun penentuan kapan ibadah tersebut dilaksanakan, merupakan perkara teknis yang dapat berkembang sesuai zamannya.
Persoalan TBC sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan ranah akidah dan ibadah. Dalam konteks ini, Muhammadiyah berdakwah untuk meluruskan pemahaman umat Islam agar tidak tercampur dengan keyakinan dan ibadah di luar, yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka dari itu, membandingkan kritikan Thomas Djamaluddin terhadap kriteria wujudul hilal dengan gerakan dakwah Muhammadiyah dalam memurnikan ajaran akidah dan ibadah umat Islam, tidaklah tepat.
Andaikan saja kita meminjam logika Thomas Djamaluddin dengan menganggap bahwa hisab kriteria wujudul hilal adalah bid’ah, karena bagi dia itu bagian dari ibadah, maka tentunya penggunaan kriteria Imkan Rukyat Neo MABIMS juga bid’ah. Bahkan kategori bid’ahnya lebih parah karena Thomas Djamaluddin menganggap kriteria wujudul hilal telah usang, yang berarti kriteria IR Neo MABIMS lebih mutakhir.
Jika demikian adanya, maka tingkat ke-bid’ah-an IR Neo MABIMS lebih tinggi dibandingkan dengan kriteria wujudul hilal. Lalu bagaimana dengan tingkat ke-bid’ah-an pencampuran metode hisab dengan rukyat sebagaimana yang gaungkan? Atau bagaimana tata cara rukyat yang sesuai dengan contoh Rasulullah SAW? Pertanyaan-pertanyaan sejenis yang muncul akibat dari meminjam logika Thomas Djamaluddin tersebut, tidak perlu dilanjutkan karena dapat berimplikasi terhadap gejolak sosial jika diteruskan. Oleh sebab itu, logika Thomas Djamaluddin dalam konteks mengkritis kriteria wujudul hilal jika terus diikuti nampaknya akan menimbulkan kegaduhan yang tiada henti.
Muhammadiyah yang Dibungkam
Jika kita cermati, sebetulnya Muhammadiyah-lah yang hendak dibungkam. Di dalam blog pribadi Thomas Djamaluddin, yang ia gunakan untuk mengkritisi kriteria wujudul hilal, seringkali ia menggunakan relasi kuasanya dengan menuliskan identitasnya sebagai Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN, Anggota Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI, Anggota Tim Tafsir Ilmi Kementrian Agama RI, dan lain-lain.
Hal ini dibuktikan dengan dicantumkannya nama-nama institusi negara di mana dia aktif, meskipun opini pribadinya yang subjektif tersebut, dituangkan melalui media berupa blog pribadi. Pencantuman ini ia gunakan untuk melegitimasi opini pribadinya agar seolah-olah menjadi bagian dari kebijakan lembaga. Dengan demikian, ia mengajak publik yang membaca opininya tersebut agar mau menyetujui opini yang bersifat subjektif, seolah-olah menjadi obyektif karena dia memiliki otoritas.
Menurut Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik sifatnya laten dan lunak sehingga sulit untuk dideteksi. Kekerasan simbolik bersifat non-fisik. Korban dari kekerasan simbolik tidak akan menyadari dan tidak akan merasakan bahwa sebetulnya mereka sedang digiring untuk menyetujui opini sepihak karena si pembuat opini memiliki otoritas atau kekuasaan. Bahkan terkadang cara kerja kekerasan simbolik dilakukan dengan menggunakan ayat-ayat suci dengan maksud agar korban terpojok, dituduh menyimpang, dan disudutkan. Hingga pada satu titik di mana korban tidak dapat mengelak dan terpaksa harus menyetujui monopoli kebenaran dari satu pihak. Relasi kuasa sangat berperan terhadap praktik-praktik kekerasan simbolik.
Dalam konteks ini, tentunya Muhammadiyah bukanlah pada posisi yang memiliki kekuasaan. Relasi kuasa erat hubungannya dengan negara. Sebagaimana disebutkan di atas, Thomas Djamaluddin selalu membawa nama institusi negara di balik opini-opini pribadinya.
Inilah yang perlu disadari bahwa pelaporan Muhammadiyah atas ancaman pembunuhan merupakan bagian dari upaya agar negara memberikan perlindungan kepada warganya sebagaimana amanah undang-undang. Bukan untuk di-bully atau disudutkan dengan opini-opini pribadi pihak tertentu yang membawa-bawa nama institusi negara.
Yang jelas, akibat sikap-sikapnya itu BRIN telah memberi sanksi moral pada Thomas Djamaluddin agar dia meminta maaf pada Muhammadiyah.
Wallahua’lam (*)
Editor Mohammad Nurfatoni