PWMU.CO– Ayat populer yang diajarkan KH Ahmad Dahlan diungkap oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mukti saat Pengukuhan PDM dan PDA Kabupaten Kediri di Simpang Lima Gumul Kediri, Ahad (4/6/2023).
Abdul Mu’ti menjelaskan, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam itu artinya gerakannya bersumber dari ajaran agama Islam.
”Ketika membaca sejarah disebutkan berdirinya Muhammadiyah terinspirasi dari surat Ali Imran: 104. Itu yang ada di dalam Mukadimah Anggaran Dasar,” kata guru besar UIN Jakarta ini.
”Tetapi kalau kita membaca buku KRH Hajid, muridnya KH Ahmad Dahlan, ajaran KH Ahmad Dahlan terdapat 17 kelompok ayat al-Quran, ternyata yang banyak diajarkan KH Ahmad Dahlan itu bukan Ali Imran: 104, tetapi Ali Imran: 110, kemudian al-Maun, kemudian wal-Asri,” kata Abdul Mu’ti menyebut ayat populer ajaran Kiai Dahlan.
Menurut dia, dalam pengertian sederhana Muhammadiyah itu gerakan yang islami, gerakan yang amalan-amalannya merupakan aktualisasi dari ajaran agama Islam, yang dipahami secara komprehensif dan dipahami secara kreatif oleh para pendiri Muhammadiyah.
Lalu dia menjelaskan cara ulama Muhammadiyah memahami al-Quran. Pertama, pemahaman bahwa al-Quran itu satu kesatuan wahyu Allah dari mulai al-Fatihah sampai dengan an-Naas.
”Itu adalah al-Quran dan ayat-ayat al-Quran itu kedudukannya, dan maknanya dalam konteks berdakwah, sama saja. Tidak berarti satu surat itu lebih mulia, lebih tinggi daripada surat yang lain, sehingga ada surat yang dibaca, dan ada surat yang tidak pernah dibaca,” ujarnya.
Dia menegaskan, al-Quran itu merupakan satu kesatuan ayat yang tidak bisa kita pisahkan pengertiannya antara satu dengan yang lain karena banyak sekali makna ayat dalam al-Quran itu penjelasannya ada di ayat lainnya.
”Bahwa ada hadits Nabi yang menjelaskan fadilah membaca ayat tertentu, pada saat-saat tertentu, itu adalah bagian dari dorongan untuk kita memperbanyak membaca al-Quran, tetapi tidak berarti satu surat lebih tinggi nilainya dari surah lainnya,” tandasnya.
”Mohon maaf di sini mungkin ada yang tidak setuju dengan saya. Tidak berarti surat an-Naas itu kalah pentingnya dengan al-Fatihah, tidak berarti surat Yaasiin itu lebih tinggi daripada surah al-Ikhlas, karena semuanya itu kedudukannya sama,” katanya soal ayat populer.
”Nah, di sini mungkin ada yang berbeda pendapat dengan saya, ndak apa-apa juga, oleh karena itu ketika Muhammadiyah memahami al-Quran itu tidak boleh atomistik. Ini saya pinjam istilahnya dari Fajrul Rahman,” ucapnya.
Dia menjelaskan, atomistik itu artinya memahami ayat al-Quran secara terpisah dari ayat yang lainnya, karena kalau pemahaman itu atomistik, maka maknanya bisa keliru, dan yang kedua pengamalan islamnya tidak holistik.
Abdul Mu’ti juga menjelaskan, memahami al-Quran itu harus dengan tafsirnya. Tafsir itu dalam pandangan Muhammadiyah dilakukan dengan dua pendekatan tafsir.
Pendekatan pertama tafsir bil matsur menafsirkan ayat dengan ayat. Menafsirkan ayat dengan hadits. Kemudian yang kedua tafsir bi-ra’yi, menafsirkan ayat dengan ilmu pengetahuan atau dengan pendekatan sainstifik yang di Muhammadiyah disebut pendekatan bayani. Yaitu memaknai dengan dalil-dalil naqli. Lalu pendekatan burhani menjelaskan dengan ilmu pengetahuan, dan yang ketiga adalah dengan irfani dengan menggunakan makrifat atau kearifan.
”Jadi ndak bisa Quran itu kita pahami tanpa tafsir,” katanya. Dia mencontohkan surat al-Maidah ayat 3.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya, pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan aku lengkapkan nikmatmu atasmu dan aku Ridho Islam sebagai agamamu.
Menurut Mu’ti, al-yauma itu makrifat, pada hari ini, tapi hari ini kapan, itu tak ada penjelasannya. ”Kita baru bisa tahu kalau kita membaca tafsir. Kalau kita membaca sejarah. Kalau kita membaca tartib ayatul Quran (urut-urutan Quran) itu diturunkan, karena turunnya al-Quran itu tidak sama dengan urutan surat di dalam al-Quran,” ujarnya.
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto