PWMU.CO – Kristen Muhammadiyah diungkap oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd ketika memberi sambutan pengukuhan PDM dan PDA Kabupaten Kediri di Convention Hall SLG Kediri, Ahad (4/6/2023).
Awalnya Abdul Mu’ti merespon pernyataan Wakil Ketua PWM Jawa Timur, Tamhid Masyhudi dan Ketua PDM Kabupaten Kediri Ikhwan Nurhadi, terkait dengan buku hasil penelitian Abdul Mu’ti yang bertajuk Kristen Muhammadiyah atau Krismuha.
Dengan gaya khasnya, Abdul Mu’ti bertutur, ketika Muhammadiyah membuka layanan pendidikan, layanan pendidikan itu terbuka bagi semuanya. ”Bahkan tidak hanya layanan pendidikan, semua layanan Muhammadiyah itu kan terbuka bagi siapa pun. Blitar punya berapa rumah sakit? Kediri punya berapa rumah sakit?” tanyanya.
Hadirin menjawab, ”Dua.”
”Kalau ada pasien yang datang apakah ditanya, apa agamanya? Ditanya ndak?”
Hadirin menjawab, ”Tidak.”
”Mungkin ditanya juga nggak apa-apa, tetapi bukan untuk menjadi alasan karena Anda tidak Islam maka tidak boleh ke rumah sakit Muhammadiyah kan tidak begitu. Ditanya agamanya supaya kita bisa memberikan pelayanan sesuai dengan keyakinan agama pasien itu,” jelasnya.
Menurut Mu’ti, itulah dakwah. Karena itu kita menghadirkan kerahmatan Islam, maka RS Muhammadiyah itu open for all, semua pasiennya itu mendapatkan rahmat dari Muhammadiyah mengamalkan al-Quran.
Ketika Muhammadiyah membuka sekolah, sambung dia, sekolah Muhammadiyah itu terbuka bagi semuanya. Tidak hanya yang beragama Islam termasuk mereka yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Nungkin juga ada yang Konghucu bersekolah di sekolah Muhammadiyah.
”Nah, mereka belajar di Muhammadiyah karena Muhammadiyah mendukung negara Pancasila maka dalam pelayanan pendidikan Muhammadiyah diberikan pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik,” terangnya.
Dia meminta baca Undang-undang Sisdiknas No. 20/2023 pasal 12 ayat 1A, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak nomor 1 mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Sehingga mereka yang belajar di Muhammadiyah itu, kata Mu’ti, yang Kristen mendapatkan pelajaran agama Kristen yang diajar oleh guru agama Kristen, karena itu ketentuan undang-undang. Yang beragama Katolik ya mendapat pelajaran agama Katolik yang diajar oleh guru agama Katolik.
”Ini ketika saya teliti ternyata tidak hanya di tiga kawasan Kupang, Ende NTT, Serui Papua. Sda banyak mahasiswa di Uhamka, bahkan di UMJ, juga di Universitas Ahmad Dahlan dan banyak kampus Muhammadiyah itu ada mereka berasal dari kalangan non-Muslim,” ujarnya.
Karena mereka berinteraksi secara sangat intens dengan mahasiswa yang beragama Islam dan mereka juga mengerti mengenai Muhammadiyah. Mereka tidak ada pelajaran agama Islam tapi ada pelajaran Kemuhammadiyahan.
”Mereka mengerti Muhammadiyah, bahkan ketika saya mengajar di Uhamka, S-2 Bahasa Inggris, itu yang nilai-nilainya 90 ke atas agamanya Katolik. Yang pengurus Cabang Muhammadiyah paling tinggi 70, karena mereka serius sekali belajar itu. Bahkan ada seorang dosen Sekolah Tinggi Agama Budha di Serpong yang kuliah juga di Uhamka, dia menyebut dirinya Budha Muhammadiyah,” selorohnya.
”Saya pernah ketemu seorang kawan, waktu itu saya ketua Pemuda Muhammadiyah, dia ketua Pemuda Budha, terus kita adakan acara di kantor PP Muhammadiyah dengan teman-teman OKP yang lain. Teman Budha ini kemudian komentar kepada saya, Mas Mu’ti begitu saya masuk kantor PP Muhammadiyah saya merasa kembali ke rumah. Oh saya kaget , maksud anda kembali ke rumah gimana?”
Dia menjawab, ”Saya ini alumni SD dan SMP Muhammadiyah, tapi menjadi ketua Pemuda Budha tingkat nasional.”
”Namanya Ponijan Liau. Dia keturunan Tionghoa. Agamanya Budha. Saya tanya, kenapa anda sekolah di Muhammadiyah?”
Ponijan Liau menjawab, ”Ya waktu itu sekolah yang ada dan sekolah terbaik di Sumatera Utara itu cuma sekolah Muhammadiyah.” Hadirin gemuruh bertepuk tangan.
Jadi, kata Mu’ti, dia itu hafal tujuan Muhammadiyah. Mereka inilah yang dalam penelitian Abdul Mu’ti menjadi varian baru di Muhammadiyah. Mereka secara agama akidahnya tetap Kristen tetap taat.
Mu’ti bercerita lagi, seorang biarawati kuliah di Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, mengambil jurusan PGSD. Jadi kuliah di Unimuda itu seizin gerejanya.
Dalam wawancara biarawati itu mengatakan, kuliah di Unimuda karena yang ada jurusan PGSD hanya Muhammadiyah.
Kembali hadirin bersama sama bertepuk tangan mendengar penjelasan Mu’ti.
Lalu Abdul Mu’ti bertanya alasannya, biarawati itu menjawab, “Di sini saya tetap bisa mempelajari agama Katolik yang diajarkan oleh dosen yang beragama Katolik.”
Abdul Mu’ti dalam penelitiannya menemukan tiga hal menarik untuk menghilangkan salah paham dan paham salah terhadap bukunya. Karena dugaannya yang mengkritik penelitiannya itu belum baca bukunya.
Jadi mahasiswa atau pelajar non-Muslim yang belajar di Muhammadiyah merasa nyaman di Muhammadiyah. ”Mereka sebagian memang pada akhirnya ada yang masuk Islam, tetapi tidak diislamkan. Kenapa dia masuk Islam karena dia mendapatkan rahmat dari layanan pendidikan Muhammadiyah lalu mendapatkan hidayah masuk Islam,” tuturnya.
Tapi, kata Abdul Mu’ti, ketika dia masih sekolah enggak boleh disyahadatkan. Alasannya li siyasah. “Coba kalau masuk Islamnya ketika masih sekolah, dianggap Muhammadiyah melakukan Islamisasi murid-murid Kristen yang sekolah di Muhammadiyah,” ujarnya.
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto