PWMU.CO– Idul Adha beda, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti usul supaya liburnya dua hari.
Usulan itu disampaikan Abdul Mu’ti di acara Pengukuhan Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah Kota Surakarta Periode 2022-2027 di Wisma Batari, Rabu (7/6/2023).
Hadir di acara itu Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa bersama undangan warga Muhammadiyah lainnya.
”Jadi liburnya dua hari, yaitu tanggal 28 dan 29 Juni 2023. Saya kira yang pegawai negeri setuju itu. Ini usul Pak Wakil Wali Kota, karena pernah ada warga Muhammadiyah yang menjadi ASN tidak ikut Lebaran (Idul Adha) karena harus pergi ke kantor,” kata Abdul Mu’ti seperti ditulis muhammadiyah.or.id.
Dia mengusulkan itu karena diprediksi akan terjadi Idul Adha beda. Berdasarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H, disebutkan tanggal 1 Dzulhijah 1444 H jatuh pada hari Senin, 19 Juni 2023 M, sehingga Idul Adha (10 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Rabu, 28 Juni 2023 M.
Keputusan ini berdasarkan kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Menurut Mu’ti, hasil perhitungan dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini sangat potensial berbeda dengan Kementerian Agama karena tinggi hilal pada tanggal 29 Dzulkaidah 1444 H kurang dari 3 derajat.
Atas dasar ini besar kemungkinan Sidang Isbat akan menetapkan Idul Adha jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023 M. Sebagaimana Idul Fitri kemarin, Idul Adha 1444 H juga kemungkinan akan berbeda antara Muhammadiyah dan Pemerintah.
Karena itu Abdul Mu’ti mengusulkan agar pada Rabu, 28 Juni 2023 juga menjadi hari libur nasional. Hal ini agar warga Muhammadiyah dapat melaksanakan shalat Id dengan tenang dan khusyuk.
Pasalnya, beberapa tahun yang lalu banyak anggota Muhammadiyah yang telah menjadi Aparatur Sipil Negara di berbagai daerah harus berangkat ke kantor pada hari di mana warga Muhammadiyah lainnya sedang melaksanakan shalat Id.
Usulan Mu’ti ini berlandaskan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
”Barangkali ini ada, syukur bila jadi libur nasional. Kalau tidak bisa, mungkin bisa dibuat khusus untuk Kota Surakarta. Supaya apa? Supaya kita bisa melaksanakan ibadah dengan tenang yang itu dijamin oleh konstitusi,” tegas Mu’ti.
Editor Sugeng Purwanto