PWMU.CO – Munu, Muda, Marmud merupakan varian baru di Muhammadiyah diceritakan kembali oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti MEd saat pengukuhan bersama Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah Kabupaten Kediri di Hall Convention SLG (Simpang Lima Gumul) Kediri, Ahad (4/6/2023).
Abdul Mu’ti menjelaskan, varian dalam istilah sosiologi atau KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) itu artinya suatu keadaan yang memang nyata adanya, tetapi tidak lazim keberadaannya.
”Umumnya warga Muhammadiyah ya beragama Islam, tetapi ini, tidak beragama Islam namun dekat dengan Muhammadiyah,” katanya.
”Kalau kita membaca Anggaran Dasar Muhammadiyah awal berdirinya tahun 1912 disebutkan, ada anggota biasa, ada anggota luar biasa, ada simpatisan Muhammadiyah. Di situ disebutkan, simpatisan Muhammadiyah itu siapa saja, bahkan boleh yang tidak beragama Islam menjadi simpatisan,” ujarnya.
Jadi, sambung dia, soal ada yang tidak paham dan sebagainya itu biasa, karena interaksi sosiologi itu menimbulkan namanya kohabitasi atau tinggal serumah.
Dalam konteks lain, dia melanjutkan, seperti buku hasil penelitian Munir Mulkhan di Desa Wuluhan Jember, Jawa Timur, yang diterbitkan menjadi buku, namanya Islam Murni dalam Masyarakat Petani, ditemukan ada empat varian sosiologis Muhammadiyah.
Empat varian itu pertama Mukhlas sebutan untuk Muhammadiyah ikhlas.” Ini orang Muhammadiyah kencengnya gak karuan. Kalau sama Kristen, jangan kerja sama karena mereka bahaya, kerja sama dengan Yahudi juga bahaya. Termasuk jangan kerja sama dengan NU karena itu berbahaya. Pokoknya Muhammadiyahnya ikhlas. Pokoknya di dunia yang boleh eksis hanya Muhammadiyah yang lain nggak boleh. Selain Muhammadiyah kontrak atau ngekos, kira-kira begitu,” terang Abdul Mu’ti disambut tawa berderai hadirin.
Kedua, Muda alias Muhammadiyah Dahlan. Ber-Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan. Teologinya puritan, saleh menjalankan agama, banyak sekali berderma, temannya siapa saja.
”KH Ahmad Dahlan itu kan berteman dengan siapa saja, punya banyak teman dari kalangan pendeta, zending, elite para ningrat, bahkan sampai bergabung dengan orang-orang ISDV, cikal bakalnya partai sosialis komunis di Indonesia,” katanya.
Bahkan orang-orang ISDV ini diundang dalam kajian Aisyiyah. Sampai elite Muhammadiyah ketika itu marah kepada Kiai Dahlan, karena menganggap kiai telah berubah sebagai orang sosialis. ”Jadi bergaul dengan siapa saja, tetapi akidahnya tidak goyah, tidak sama sekali,” tuturnya.
Ketiga, Munu yaitu Muhammadiyah NU. ”Itu anggota Muhammadiyah tetapi yasinan oke, tahlilan oke, Barzanji ya juga oke. Muhammadiyah NU itu tidak anti terhadap barzanjen. Bahkan dia menemukan di dalam Barzanji itu ada kata Muhammadiyah, kata NU malah tidak ada,” ujar Mu’ti yang membuat hadirin terpingkal-pingkal sambil bertepuk tangan.
”Saya itu hafal bacaan ketiga, walamma aroda allahutaa ‘ala ibrota haqi lil muhammadiyah… Lho Muhammadiyahnya ada,” tuturnya. ”Mereka inilah yang disebut Munu gitu lho.”
Mu’ti menuturkan, kalau Mukhlas itu nggak boleh Barzanji kenapa? Karena syairnya ditafsiri menyamakan Nabi dengan Tuhan.
Contoh Yaa Nabi salam alaika, anta syamsun, anta badrun, anta nurun fauqa nuuri. Anta ikhsiru wa gholi anta misbahun suduri.
Syair itu, ujar Mu’ti, dianggap menyamakan Nabi Muhammad dengan Tuhan, itu syirik. Padahal itu ungkapan tasbih, memuliakan Nabi, engkau adalah cahaya seperti matahari yang menerangi dunia, engkau adalah purnama yang menerangi dunia, engkau adalah cahaya di atas cahaya. Itu disamakan dengan Tuhan, alasannya surat an-Nuur: 35 disebutkan, Allah itu nurun alan-nuur. Jadi menyamakan Muhammad dengan Tuhan itu kan tidak aple to aple.
Menurut Mu’ti, orang begini berarti tidak mengerti bahasa sastra, kalau kemudian ada seorang bapak yang sedang jatuh cinta kepada istrinya itu mengatakan,”Oh istriku, engkaulah matahariku. Apa jadi matahari ? Kalau iya terbakar itu suaminya.”
”Kalau dalam lagu Ahmad Dhani merayu istrinya itu kan: separuh nafasku, hilang bersama dirimu…” Kembali hadirin koor terbahak-bahak. ”Jadi ini Munu, dan mereka itu juga bergaul dengan orang Muhammadiyah.”
Kata Mu’ti, menurut Kunto Wijoyo hal ini disebut konvergensi baru ketika kuliah sama-sama di Universitas Muhammadiyah, kan banyak anak-anak keluarga NU yang kuliah di Muhammadiyah, seperti dua putra-putri KH Hasyim Muzadi itu kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Malang, dan nggak apa apa juga.
”Jadi ada varian MuNU ada pula varian NUMu. Sekretaris Muslimat Cabang Wonosobo itu alumni IMM Al Faruqi IAIN Semarang. Kawan saya jadi sekretaris Muslimat NU, saya menyebut dia NUMu alias NU Muhammadiyah,” ujarnya.
”Itu karena bergaul , apakah dengan demikian Muhammadiyahnya rusak, nggak juga. Nah yang ketiga ini agak politik, namanya Marmud, Marhaenis Muhammadiyah,” ujarnya.
”Menjadi anggota Muhammadiyah tapi partainya partainya Mas Bupati Kediri. Partainya Megawati. Jadi dia marhaenis. Di Blitar ada yang akan ngasih buku Abangan Muhammadiyah,” katanya.
Diterangkan, akibat dari pergaulan itu muncul namanya personal proximity atau kedekatan personal. Dan yang seperti ini biasa saja.
Kalau kita membaca peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah itu siapa pemandu jalannya? Orang Yahudi. Karena untuk menuju Madinah, Nabi tidak menempuh jalan yang lurus, tapi jalan yang berkelok-kelok untuk menghindari kejaran orang kafir Quraisy Mekkah. Orang Yahudi yang diminta Nabi memandu jalan menuju Madinah, bahkan ada riwayat, salah seorang sekretaris Nabi Muhammad yang membantu korespondensi itu orang Yahudi.
Makanya berislam itu harus terbuka harus berilmu, harus banyak wawasan, jangan memahami ayat itu- itu saja, dan merasa itu yang paling benar. Itu tidak karakteristik Muhammadiyah.
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto