Masjid Jami’ Josari
Mengulas Mbah Ridwan tidak lepas dari Masjid Jami’ Josari. Karena dia merupakan salah satu kiai di masjid ini. Masjid Jami’ Josari didirikan tahun 1600 M. Pada tahun 1973 M diberi nama Masjid Daarul Muttaqien.
Kiai pertama adalah Imam Asy’ari asal Jepara (tahun 1600 – 1646). Selanjutnya berturut-turut adalah Kiai Ustad (1646 – 1694), Kiai Imam Syafi’i (1694 – 1746), Kiai Ahmad Syafi’i (1746 – 1806), Kiai Imam Nawawi (1806 – 1862), Kiai Muhammad Na’im (1862 – 1896), KH. Muhammad Mansur (1896 – 1943), Kiai M. Mahfud Yahya (1943 – 1961), KH. Ridwan Hadjir/Mansur (1961 – 1980), Kiai Sunjarib (1980 – sekarang)
Saat itu Kiai Imam Asy’ari sedang berdakwah lalu mampir di Masjid Donopuro, Setono Tegalsari. Oleh Kiai Donopuro, Imam Asy’ari diarahkan untuk berdakwah di Josari. Lalu berdirilah masjid dan Pesantren Josari dan mulai tahun 1600. Secara turun temurun masjid dan Pesantren Josari dipimpin oleh keluarga Imam Asy’ari. Sampai dengan saat ini, mulai 1980 kiai masjid dipegang oleh Mbah Njarib yang masih jalur nasab sampai dengan Kiai Imam Asy’ari.
Menikah Dadakan
Ridwan kecil belajar di sekolah rakyat di belakang tangsi (kantor polisi) Jetis yang saat ini ditempati SDN Wonoketro 1. Dulu disebut sekolah rendah, sekolah rakyat atau vervolk school. Mbah Sahal Gontor termasuk yang bersekolah di sini. Sekolah lawas yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Ridwan menempuh sekolah rakyat 5 tahun. Lantas nyantri ke Jamsaren Solo 6 tahun. Pesantren Jamsaren berdiri kisaran tahun 1750. Di Jamsaren Solo rekan seangkatan Mbah Ridwan adalah Mbah Sahal (KH Ahmad Sahal) dan Mbah Zarkasyi (KH Imam Zarkasyi) serta Mbah Azis (Abdul Azis).
Mbah Sahal dan Mbah Zarkasyi adalah pendiri Pondok Pesantren Gontor. Mbah Azis adalah tokoh Syarikat Islam (SI) di Jintap yang merupakan guru ayah saya, Putut Sugito. Ayah saya juga ngaji ke Kiai Mahfud Yahya, Josari.
Sepulang dari Jamsaren Mbah Zarkasyi meneruskan menempuh ilmu ke Padang, Sumatera Barat. Mbah Sahal pulang kampung ke Gontor merintis pesantren dan Mbah Azis berdakwah di Jintap Wonoketro Jetis.
Selanjutnya, Mbah Ridwan ke Yogyakarta nyantri di Hizbul Arqo Kiai Dahlan. Menurut penuturan Mbah Njarib, ada enam santri awal Kiai Dahlan. Di antaranya adalah Mbah Ridwan.
Hizbul Arqo, atau Qismul Arqo (https://muallimin.sch.id/tentang/sejarah/) berdiri tahun 1918. Jika merunut angka tahun ini, maka Mbah Ridwan masuk tahun 1918 dan selesai tahun 1924. Hal ini sesuai dengan buku Selintas Muhammadiyah Ponorogo di mana Mbah Ridwan tamat 1924 dari Hizbul Arqo Kiai Dahlan.
Setelah lulus, santri Kiai Dahlan ditanya satu persatu mau mengabdi di mana saja. Kebanyakan pulang dan mengabdi ke daerahnya. Giliran Mbah Ridwan ditanya, dia menjawab ”Wonten pundi-pundi purun, sing penting mboten ngabdi wonten njawi dunyo (Di mana-mana mau yang penting tidak mengabdi di luar dunia),” cerita Mbah Njarib sambil tertawa.
Karena di tempat yang jauh, syarat untuk melaksanakan pengabdian harus menikah terlebih dahulu, maka Mbah Ridwan diminta menikah dengan Sringatun oleh ayahnya. Sringatun adalah putri dari Mbah Sarbini Sragen, teman Mbah Mansur saat di Mekah. Kala di Mekah mereka berdua bersepakat untuk besanan. Saling menikahkan anak mereka.
Awalnya Mbah Ridwan ragu menerima perintah Mbah Mansur menikahi putri Mbah Sarbini. Namun Mbah Ridwan tetap berangkat ke Sragen karena taat kepada orang tua. Sampai di rumah Mbah Sarbini dia mengungkapkan tujuan dan minta menikah saat itu juga. Harapannya ketika minta langsung nikah, keinginan tersebut pasti ditolak. Ternyata prediksinya salah. Mbah Sarbini mengiyakan. Terjadilah pernikahan dadakan terlaksana pada hari itu juga.
Dakwah Keluar Jawa
Setelah menikah, Mbah Ridwan melaksanakan pengabdian pertamanya ke Borneo (Kalimantan). Ketika akan mengabdi inilah nama Hadjir disematkan oleh Kiai Dahlan sehingga bernama Ridwan Hadjir. Ridwan yang berhijrah. Pengabdian pertamanya di Alabio, Amuntai pada tahun 1925. Di Alabio Mbah Ridwan berdakwah sampai tahun 1927 dan dikarunai satu anak.
Tahun 1927, Mbah Ridwan pulang kampung. Kemudian berangkat dakwah ke Aceh sampai dengan 1930. Pada saat pengabdian di Aceh ini dikaruniai satu anak lagi. Sepulang dari Aceh Mbah Ridwan membawa oleh-oleh sepeda. Sepeda inilah yang digunakan untuk berdakwah di Balong, Mlarak, Sambit, Bungkal, Ponorogo, dan sekitarnya. Sepeda ini didapatkan dari lomba balap sepeda saat di Aceh. Siapapun yang menang hadiahnya adalah sepeda yang ditunggangi. Juaranya Mbah Ridwan. Dibawalah sepeda tersebut ke Ponorogo.
Saat sudah di Ponorogo tahun 1930, Mbah Ridwan belum memiliki rumah sehingga tidak menetap di Josari. Dia ngekos di Pakunden, Ponorogo Kota dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah etan bunderan sambil berdakwah. Salah satu muridnya adalah almarhum Mbah Komar, yang suaranya melegenda setiap Ramadhan, terdengar jelang buka puasa di Radio Gema Surya FM.
Saat di kota inilah Mbah Ridwan didapuk sebagai Ketua Muhammadiyah Ponorogo mulai tahun 1930 – 1936. Meneruskan kepemimpinan sebelumnya Ali Diwirjo 1922 – 1930 (Ketua Muhammadiyah pertama di Ponorogo).
Setelah 1936 Mbah Ridwan kembali ke Josari Jetis dan menetap di sana. Tepatnya di selatan Masjid Jami’ Josari. Mbah Ridwan merawat pesantren dan masjid serta mengabdi berdakwah Muhammadiyah di Jetis dan sekitarnya.
Pemberontakan PKI
Pada saat pemberontakan PKI 1948 rumah Mbah Ridwan habis dibakar PKI termasuk rumah yang lain. Mbah Ridwan dan keluarga mengungsi ke selatan di rumah warga. Pada peristiwa ini, Lurah Josari bernama Kasimin juga meninggal dibunuh PKI.
Namun Masjid Jami’ Josari tidak dibakar. Menurut cerita, mata orang-orang PKI tidak melihatnya. Rumah KH Muhammad Mansur dan Kiai Kalil, adik Mbah Mansur yang berada di seberang jalan timur masjid jami’ sempat dibakar, namun apinya padam.
Pada tahun 1958 Mbah Ridwan menunaikan ibadah Haji. Pada tahun 1961 dia diangkat sebagai kiai Masjid Josari menggantikan Kiai Mahfud Yahya. Saat menjadi Kiai Masjid Josari ini dia juga dikenal dengan nama Ridwan Mansur. Tambahan nama Mansur merupakan sematan yang merujuk nama ayahnya KH Muhammad Mansur.
Aktivitas saat menjadi kiai adalah menjadi imam masjid, guru pesantren, dan menjadi guru mualimat Muhammadiyah. Santri di antaranya anak-anak muda Josari, Pereng, Jarak, Sawuh, Karanggebang, Turi, Winong dan daerah lainnya. Dia juga berdakwah keliling dengan sepedanya. Sering diundang kajian dakwah di Balong, Bungkal, Tamansari, Mlarak, Ponorogo dan di wilayah Kecamatan Jetis.
Pada tahun 1980 Mbah Ridwan mengangkat anaknya Sunjarib (Mbah Njarib) sebagai kiai muda karena kondisi fisiknya yang mulai sakit-sakitan. Mbah Njarib meneruskan menjadi kiai ke-10 sampai dengan saat ini.
KH Ridwan Hadjir meninggal pada 16 Mei 1989 dan dimakamkan di Josari, Jetis. Semoga Allah ta’ala merahmatinya dan memberikan tempat mulia disisiNya. Aamiin.
Editor Sugeng Purwanto