PWMU.CO – Kenyataan adalah persepsi. Susah atau senang dalam hidup hanyalah sebuah anggapan semata. Bila ingin mengubah kenyataan hidup, mulailah dengan mengubah persepsi kita. Persepsi menjadi awal perubahan, dan perubahan adalah awal kemajuan.
Mungkin banyak yang mencibir begitu ada yang kebetulan baca tulisan ini. Namun tak ada salahnya bila kita merenungkan sejenak tragedi rumah tangga perempuan ini hingga menuntut cerai suaminya karena merasa tidak bahagia, padahal kehidupannya berkecukupan. Kisah pilu itu ditulis Dr Ibrahim Elfiky, seorang maestro motivator muslim dunia, dalam bukunya “Quwwat al-Tafkir”.
(Baca: Mutiara di Tengah Badai dan “NKRI Harga Mati”: Jargon yang Absurd?)
“Dr. Ibrahim, aku sudah menikah 10 tahun lalu, dan sekarang dikaruniahi tiga orang anak. Sebagai seorang pedagang, suamiku selalu pergi,” tanya perempuan itu pada Ibrahim.
Tiba-tiba perempuan itu terdiam. Tidak lama kemudian, ia berkata lagi. “Aku ingin cerai darinya. Dan aku ingin Anda membantuku mengambil keputusan ini,” pinta dia. Ibrahim terkejut, lalu bertanya. “Apakah suami Anda menikahi perempuan lain?” tanya Ibrahim. “Tidak,” jawab dia.
“Apakah ia memukuli Anda?” tanya Ibrahim lagi. “Tentu tidak. Kalaupun mau, ia pasti tidak bisa melakukan hal itu,” jawab dia.
Apakah ia menyayangi anak-anak?” tanya Ibrahim lagi. “Ya, ia sangat menyayangi mereka,” jawab dia. “Apakah ia menjalankan kewajibannya memberi nafkah keluarga?” tanya Ibrahim lagi. “
Ya, sebenarnya ia sangat dermawan. Ia tidak pernah mengabaikan kebutuhan kami,” jawab dia. “Apakah ia pernah keluar dengan perempuan lain?” tanya Ibrahim. Ia menjawab tegas, “Tidak.
(Baca juga: Indonesia, Negeri Muslim Katanya dan Memaknai Hari Bumi dalam Perspektif Islam)
Aku masih sangat percaya ia laki-laki setia.” Ibrahim lalu mengatakan. “Kalau begitu, mari kita melihat gambaran suami Anda sampai saat ini. Seperti yang anda katakan, dia seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya; menunaikan tanggungjawab dan kewajibannya terhadap keluarga; tidak menikahi perempuan lain; tidak pernah keluar dengan perempuan lain; tidak memukul Anda; dan sangat setia. Bukankah begitu?”
“Ya.” Jawab dia. Ibrahim lalu mengingatkan.“Jika Anda benar-benar ingin meninggalkannya, pikirkan baik-baik. Bisa jadi ada ratusan perempuan yang mengharap dapat menikah dengan laki-laki seperti ini,” kata Ibrahim menasihati.
Tiba-tiba perempuan itu tertawa, tapi matanya berkaca-kaca, seraya berkata. “Sepertinya, ia tidak seperti dugaanku.” Ibrahim lalu bertanya. “Tapi mengapa Anda sangat marah?” Perempuan itupun mengakui. “Ia sudah tidak pernah meluangkan waktu untukku seperti dulu. Ia juga sudah tidak mau menceritakan masalah pekerjaannya kepadaku. Itu berarti ia sudah tidak butuh pendapatku. Tetapi sekarang aku sadar bahwa selama ini aku selalu mengkritik dan meremehkan impiannya. Mungkin karena itu, ia tidak mau tukar pikiran lagi denganku,” aku dia.
Ibrahim lalu menanyai lagi. “Sekarang, apakah Anda masih ingin bercerai darinya?” Dengan senyum, perempuan itu tersipu malu. “Tidak Dr Ibrahim. Dia laki-laki istimewa dan aku sangat mencitainya,” jawab perempuan tadi.
Dengan mengubah persepsi, kenyataan jadi berubah. Perceraian yang diinginkan berubah jadi cinta dan kekuatan untuk mempertahankan mahligai rumah tangga. Itu terjadi karena fokusnya berubah, sudah tidak lagi pada kejelekan suaminya, tapi hal-hal positif. Seperti logika olahraga, orang jarang sekali atau bahkan tidak ada yang mengeluh, padahal keringatnya bercucuran habis olah raga. Tapi kalau habis mengerjakan tugas sedikit, mengeluhnya minta ampun meski hanya berkeringat sedikit.
Itulah kekuatan fokus. Susah atau senang hanyalah persoalan persepsi. Maka tak heran bila Islam telah jauh-jauh hari mengingatkan kita tentang konsep tawakkal dan sabar setiap kali mendapatkan musibah atau cobaan. Kata tawakal dalam Al-Qur’an sampai disebutkan 70 kali, malah kata sabar disebut lebih banyak lagi, yakni 114 kali atau sebanyak anjuran untuk berusaha.
Banyaknya kata tawakal dan sabar dalam Al-Qur’an menggugah kita untuk tidak terjebak pada masa lalu yang jelek. Masa lalu adalah mimpi, dan masa depan adalah proyeksi. Kehidupan yang diwarnai dengan kecintaan mendalam pada Allah akan membuat masa lalu menjadi mimpi yang indah dan masa depan penuh harapan.
Namun kita juga menyadari, tanpa masa lalu, manusia akan terperosok pada kegelapan akibat tidak belajar, karena masa lalu merupakan gudang berisi keahlian, ketrampilan, dan kejiksaan untuk mengarahkan pada masa depan lebih baik. Dr Robert Schuler pernah berpesan, apa yang terjadi pada Anda tidak penting. Yang penting adalah apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi pada Anda. Semoga bermaanfaat .Wassalam #Jumatbarokah
Penulis: Roudlon Fauzani, anggota Lembaga Informasi Komunikasi (LIK) PWM Jatim