Dalam sebuah hadis disebutkan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: “أوصاني خليلي صلى الله عليه وسلم بثلاث: صيام ثلاثة أيام من كل شهر، وركعتي الضحى، وأن أوتر قبل أن أنام “متفق عليه
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Sahabatku, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, memerintahkanku untuk melakukan tiga hal: berpuasa tiga hari setiap bulan, melakukan dua rakaat shalat Dhuha, dan melakukan salat Witir sebelum tidur.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Imam An-Nawawi mencantumkan hadis di atas dalam kitab beliau, Riyadlush Shalihin.
[Lihat kitab Riyadlush Shalihin susunan Imam An-Nawawi, k. Al-Fadha`il, b. Istihbabu Shaumi Tsalatsati Ayyamin min kulli syahr, h. 1258, hlm. 331].
Sekilas hadis di atas menjelaskan tiga pesan Rasulullah kepada Abu Hurairah. Dalam kitab Riyadlush Shalihin juga disebutkan bahwa wasiat serupa juga pernah diberikan kepada Abu Darda
Abu Hurairah adalah salah seorang sahabat Nabi yang masuk Islam di tidak lama sebelum Rasulullah wafat. Beliau hanya membersamai Rasulullah dalam kurun waktu yang tidak lama, kurang lebih hanya beberapa tahun saja.
Disebabkan ketertinggalannya dari sahabat yang lain Abu Hurairah mendedikasikan masa-masa yang sebentar bersama Nabi tersebut untuk mengambil sebanyak-banyak ilmu. Abu Hurairah pun termasuk dari kalangan Ahlush Shuffah
[Ahlus Shuffah adalah sebutan bagi para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tidak memiliki harta dan tempat tinggal di Madinah, lalu tinggal di bagian Masjid Nabawi yang bernama Shuffah. Mereka menjalani hidup zuhud, fokus pada ibadah, dan belajar ilmu agama serta Al-Qur’an di bawah bimbingan Rasulullah langsung].
Selain itu, Abu Hurairah merupakan shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Hal tersebut dikarenakan Abu Hurairah mendedikasikan semua waktunya untuk mengambil hadis dari Nabi di saat para sahabat yang lain sibuk dengan urusan ladang dan perdagangan. Dengan demikian, tidak heran jika Rasulullah memberi wasiat khusus kepada beliau.
Penjabaran tiga wasiat tersebut adalah sebagai berikut:
Puasa Tiga Hari Tiap Bulan Hijriyah
Dalam hal ini puasa yang dimaksud bersifat umum tanpa ada ketentuan waktunya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa keutamaan puasa tiga hari tiap bulan adalah pahalanya bagaikan pahala puasa selama setahun penuh
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ
“Bahwasanya Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Berpuasa tiga hari setiap bulan seperti berpuasa setahun penuh’.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa lebih utama jika puasa tiga hari tersebut dilaksanakan bertepatan dengan ayyamul bidl (hari-hari putih/hari-hari bulan putih purnama) atau bertepatan dengan tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan hijriyah.
Hal tersebut karena ada hadis yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari tiap bulan adalah puasa ayyamul bidl. Selain itu ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah meninggalkan puasa ayyamul bidl baik ketika safar atau mukim/tidak bepergian.
Akan tetapi sebenarnya tidak ada batasan yang menyatakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan itu harus bertepatan dengan ayyamul bidl. Bahkan di hadits lain disebutkan bahwa boleh mengerjakan puasa tiga hari tiap bulan di hari apapun. Berikut lafal hadisnya:
أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِي مِنْ أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Bahwasanya ia (Mu’adzah Al-‘Adawiyah) bertanya kepada ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah setiap bulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa tiga hari? Ia menjawab: Ya. Aku bertanya lagi kepadanya: Pada tanggal berapa beliau berpuasa? Ia menjawab: Beliau tidak terlalu mempersoalkan pada hari apa saja beliau berpuasa.”
Dengan demikian, apabila kita tidak mampu berpuasa di ayyamul bidl, maka kita boleh berpuasa di tiga hari selainnya.
Dua Rakaat Dhuha
Salat dhuha adalah salat sunnah yang dilakukan pada waktu dhuha, dimulai setelah matahari terbit dan naik sekitar tujuh hasta dan berakhir saat menjelang shalat dhuhur.
Salat dhuha dikerjakan dengan rakaat genap, dengan minimal 2 rakaat. Banyak keutamaan salat dhuha sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Juga banyak hadis sahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaan tersebut. Salat dhuha merupakan salat awwabin (shalatnya orang-orang yang bertobat) sebagaiman yang dijelaskan oleh hadis berikut:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Bahwasanya Zaid bin Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah mengerjakan salat dluha, lalu dia berkata: “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat diluar waktu ini lebih utama?
Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Salat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan ketika anak unta mulai beranjak karena kepanasan.”
Di antara keutamaan shalat dhuha adalah shalat dhuha merupakan bentuk shadaqah tulang-tulang kita tiap paginya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits berikut:
يُصْبِحُ عَلى كُلِّ سُلامَى مِنْ أَحدِكُمْ صَدَقةٌ: فكُلُّ تَسْبِيحةٍ صدقَةٌ، وكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وكُلُّ تَكْبِيرةٍ صدقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالمعْرُوفِ صَدقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنكَرِ صدقَةٌ. وَيُجْزِيءُ مِنْ ذلكَ ركْعتَانِ يَرْكَعُهُما منَ الضُّحَى
“Setiap sendi kalian diwajibkan bersedekah setiap pagi: Setiap ucapan “Subhanallah” adalah sedekah, setiap ucapan “Alhamdulillah” adalah sedekah, setiap ucapan “La ilaha illa Allah” adalah sedekah, setiap ucapan “Allahu Akbar” adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, dan nahi munkar adalah sedekah. Dua rakaat shalat Dhuha mencukupi untuk itu.”
Salat Witir sebelum Tidur
Salat witir adalah shalat sunnah yang dikerjakan dalam jumlah rakaat ganjil dengan minimal 1 rakaat. Pelaksanaannya adalah antara setelah isya sampai menjelang subuh. Salat witir dianjurkan sebagai penutup dari salat tahajud/shalat malam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اجعَلُوا آخر صلاتكم بالليل وترًا)) ، متفق عليه
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jadikanlah shalat witir sebagai penutup shalat malam kalian.”
Dalam wasiat Rasulullah di atas disebutkan bahwa Abu Hurairah dipesan untuk mengerjakan witir sebelum tidur. Dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa perintah tersebut dikarenakan pada akhir malam Abu Hurairah sibuk mempelajari dan menelaah ulang apa yang beliau dapat dari Rasulullah. [Lihat Syarah Riyadlush Shalihin susunan Al-‘Utsaimin.].
Walaupun demikian hal tersebut tidak menyalahi hadits yang menjelaskan keutamaan witir sebagai penutup shalat malam. Bahkan disebutkan dalam riwayat lain bahwa shalat witir boleh dilakukan sebelum tidur bagi orang yang tidak mampu melakukannya setelah tidur.
[Lihat kitab Bulughul Maram susunan Ibnu Hajar Al-Asqalani, k. Ash-Shalah, b. Shalah Tathawwu’, h. 308.].
Hal tersebut sama dengan keadaan Sayyidina Abu Bakar yang mengerjakan shalat witir sebelum tidur tersebab beliau tidak mampu untuk mengerjakannya di akhir malam.
Disebabkan ada dalil yang menjelaskan shalat witir sebelum tidur dan di akhir malam, maka dua hal tersebut boleh dilakukan tergantung keadaan mukallaf tersebut. Apabila ia mampu untuk mengerjakan shalat witir di akhir malam, maka hendaklah ia melakukan di akhir malam. Namun jika ia tidak mampu untuk melakukannya di akhir malam karena sebuah alasan, maka ia boleh shalat witir sebelum tidur.
Demikianlah penjelasan untuk tiga wasiat Nabi kepada Abu Hurairah. Walaupun konteks kalimat pada hadits di atas ditujukan untuk Abu Hurairah tapi tidak ada salahnya jika mengikutinya bukan karena banyak keutamaan pada amalan-amalan tadi. Juga dalam banyak hadits disebutkan bahwa pengamalannya tidak dikhususkan untuk sebagian orang saja. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments