Beda Hari Raya Menurut KH Hasyim Muzadi, oleh Nur Cholis Huda MSi, Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2022-2027
PWMU.CO – Hari raya beda lagi. Idul Fitri kemarin berbeda, kini Idul Adha juga berbeda. Muhammadiyah menetapkan Idul Adha pada Rabu 28 Juni. Pemerintah menetapkan Kamis 29 Juni 2023.
Saya teringat penjelasan KH Hasyim Muzadi tentang beda hari raya di depan alumni dan keluarga besar Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Beliau dan Prof Din Syamsuddin termasuk alumni Gontor.
Mula-mula beliau bercerita ketika bersama Prof Din Syamsuddin dipanggil Wapres Yusuf Kalla. Beliau Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan Prof Din Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Wapres minta jika terjadi beda hari raya supaya dicarikan titik temu. Agar masyarakat tidak gaduh. Caranya?
Saat itu NU menetapkan hilal minimal dua derajat baru bisa dirukyat (sekarang naik 3 derajat). Wapres minta supaya diturunkan satu derajat. Muhammadiyah yang memakai wujudul hilal tanpa tergantung derajat diminta supaya dinaikkan satu derajat. Dengan demikian akan ketemu di titik satu derajat. Maka hari raya bisa bareng.
Tentu saja tidak bisa. Ini bukan tawar menawar beli barang. Penjual turun harga sedikit dan pembeli naikkan tawaran sedikit. Maka ada titik temu. Terjadi transaksi. Kedua tokoh itu menolak usulan wapres yang menggunakan logika bisnis. Logika penjual dan pembeli. Prof Din sering cerita ini di jamaah Muhammadiyah.
Tak Pernah Terjadi Perbedaan
Hari raya beda, menurut Kiai Hasyim tidak pernah terjadi. NU dan Muhammadiyah hari rayanya selalu sama. Tidak pernah beda. Yang beda hanya tanggal atau harinya.
Bukan hari rayanya. Cara NU berhari raya sama dengan Muhammadiyah. Shalat dua rakat. Ada takbir zawaid tujuh dan lima, serta lain-lain. Demikian juga Muhammadiyah. Semuanya sama. Soal beda tanggal atau hari itu soal kecil. Contoh kalau kita berangkat dari Jepang Jumat sore ke Amerika, maka sampai di Amerika Jumat pagi. Apakah kita shalat Jumat lagi atau tidak?
Demikian juga kalau kita dari Amerika ke Indonesia hari Jumat sore. Sampai di Jakarta hari Ahad. Hari Sabtunya hilang. Maka jangan ributkan soal beda hari. Itu soal relatif. Itu soal furu’ (cabang), bahkan ibnul furu’ (anak cabang) kata Kiai Hasyim.
Masih ada soal yang diributkan lagi. Puasa pada hari raya itu haram. Bagaimana mereka masih puasa padahal sudah hari raya Idul Fitri?
Bagi yang berpuasa, itu belum hari raya. Dia meyakini puasa 30 hari. Bukan 29 hari. Jadi tidak haram. Justru mereka yang menganggap sudah hari raya duluan itu punya utang puasa satu hari. Tidak ada cara qadha-nya karena sengaja tidak puasa.
Bagi yang hari raya duluan tentu merasa tidak ada utang. Karena hari itu diyakini sudah hari raya.
Begitulah, keributan demi keributan tidak berkesudahan. Berdebat soal ijtihad tidak ada habisnya. Yang habis energi kita. Itu terjadi setiap kali hari atau tanggal hari raya berbeda.
Pendapat Pak Hasyim terasa enteng. Tidak pernah hari raya Muhammadiyah dan NU berbeda. Yang beda hanya tanggalnya atau harinya. Itu soal kecil. Soal hari itu relatif, seperti
contoh pergi ke Amerika dari jepang di atas. Atau pulang dari Amerika ke Indonesia yang kehilangan satu hari. Maka tidak layak ada yang diributkan.
Menyatukan Kalender
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Idul Adha sebenarnya tidak perlu berbeda harinya. Pedomannya sangat mudah yaitu hari wukuf jamaah haji di Arafah. Jika hari ini jamaah haji wukuf, maka besok hari Idul Adha. Ini lain dengan Idul Fitri yang mungkin bisa berbeda.
Tahun ini jamaah haji wukuf hari Selasa 27 Juni. Maka Idul Adha jatuh hari Rabu. Pemerintah tidak perlu jaga gengsi tetap Idul Adha hari Kamis. Mengapa sesuatu yang mudah harus diselesaikan dengan cara yang susah? Demikian pendapat ketiga ini.
Para penganut mazhab empat, hasil ijtihadnya tidak selalu sama. Namun mereka saling menghormati. Tidak saling meributkan. Tidak saling menyalahkan. Mengapa kita sering meributkan pada sesuatu yang tidak sama? Bahkan ada yang dengan kalimat kasar dan kotor.
Tentu mengurangi pahala puasa. Mengapa tidak mencontoh para pendiri mazhab? Mereka ulama yang sangat alim. Mereka selalu bisa menerima perbedaan. Tidak sama tidak berarti salah. Asal ada dasar dan alasan yang logis. Apalagi muncul tuduhan yang tidak sama dengan pemerintah berarti warga negara yang tidak patuh pemerintah.
Kita boleh saja berbeda dengan pandangan Kiai Hasyim. Tapi apakah kita punya solusi? Mungkin ada yang menjawab: tidak perlu ada solusi. Biarkan perbedaan itu berlangsung seperti apa adanya. Itu soal keyakinan.
Benar. Tetapi yang kita hindari jangan sampai perbedaan menjadi sumber perpecahan. Saling menyalahkan. Lalu ada yang mengipas-ngipas, menggoreng menjadi berita hangat. Sering soal kecil dimanfaatkan pihaktertentu untuk mengadu domba. Termasuk pada tahun politik ini. Beda hari raya dibumbui dengan politik pilpres.
Namun kita percaya umat sudah semakin dewasa. Perbedaan hari raya sudah sering terjadi. Tukang kipas berita akan kecewa karena jualannya tidak laku. Umat Islam akan baik-baik saja.
Yang kita rindukan adalah upaya menyatukan kalender hijriah yang sudah lama dirintis dan terus menerus di usahakan bisa terwujud. Namun sampai sekarang belum terwujud. Jika penyatuan kalender itu terwujud akan indah sekali. (*)
Tulisan ini dimuat juga di majalah Matan edisi Mei 2023.
Editor Mohammad Nurfatoni