Pengurbanan Ibrahim: Menguji Kesadaran Ilahiah oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan
PWMU.CO – Jika Allah meminta, tidak hanya harta benda, nyawapun diberikan. Tekad Ibrahim bulat. Keyakinannya sudah mantap. Apa yang ada dalam mimpinya bukanlah provokasi setan, tapi perintah Tuhan.
Keyakinan itu ia dapatkan usai iktikaf di hadapan Sang Khaliq di Padang Arafah. Dalam dzikirnya malaikat Jibril datang dan bertanya:
”Ibrahim, hal ‘arafta?”
”Na’am, ‘araftu,” jawab Ibrahim pendek.
Pengetahuan tentang rabbnya membawanya kepada keyakinan dan kesadaran tertinggi seorang hamba. Seseorang yang telah sampai kepada pengakuan kelemahan diri, tanpa daya yang siap pasrah dan menyerahkan secara total apa yang ada pada dirinya kepada Yang Maha Pemilik, termasuk kecintaan tiada peri kepada putranya Ismail, buah hati satu-satunya dengan Hajar, istrinya.
Perintah itupun datang selang beberapa saat ia bertemu dengan putranya setelah lama ia tinggalkan di lembah Bakkah. Padang tandus tak berpenghuni, gersang, dan panas membakar bumi.
Padang Tandus
Nabi Khalilullah ini meninggalkan mereka di padang gersang atas perintah kekasihnya, Allah SWT ketika sang putra masih dalam ayunan. Sarah, istri pertama Ibrahim menawarkan sendiri Hajar untuk diperistri. Namun ia merasa tidak enak hati manakala mendapati kenyataan lahirnya anak laki laki dari rahim Hajar, sementara dirinya belum memperoleh karunia itu.
Di sisi lain kecintaan Ibrahim kepada Hajar semakin besar setelah ia bisa memberikan keturunan kepada suaminya yang diberi nama Ismail.
Cinta dan kasih sayang Ibrahim kepada Hajar dan Ismail tidak bisa ditutupi, tumbuh bersemai bersama keindahan laku budi Hajar dan tingkah gemas putranya yang masih dalam buaian.
”Pergilah, Ibrahim. Bawalah istri dan anakmu ke selatan,” demikian perintah rabbnya.
Di selatan, ada lembah tandus,berbukit berbatu. Wilayah tak berpenghuni, dataran pasir bergulung-gulung disapu angin gunung. Itulah Bakkah. Lembah sepi. Tanah kering kerontang terbakar oleh terik matahari. Di tempat itu ada reruntuhan altar sesembahan yang lama ditinggalkan. Rumah pertama dibangun di bumi.
اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ
Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. (Ali Imran: 96)
Hajar menurut saja ketika sang suami memintanya pergi bersama putranya ke sana. Ibrahim mengantar istri dan anaknya itu ke tempat yang ditunjukkan Allah swt. Itulah pengurbanan Ibrahim.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Kaum wanita pertama memakai ikat pinggang adalah dengan meniru Ummu Ismail (Hajar), ketika ia memakai ikat pinggang untuk menghilangkan jejaknya dari Sarah. Nabi Ibrahim alaihissalam membawa Hajar dan putranya Ismail ketika Hajar masih menyusui, hingga Nabi Ibrahim alaihissalam meletakkannya di dekat pohon besar di atas Zamzam.
Saat itu Mekkah tidak ada siapapun, dan tidak ada air. Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di sana. Nabi Ibrahim meninggalkan geriba berisi kurma dan wadah air. Lalu Nabi Ibrahim membalikkan punggungnya untuk meninggalkan tempat tersebut.
Hajar mengikuti Nabi Ibrahim dan berkata,”Wahai Ibrahim! Ke mana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apapun di sini?”
Hajar mengucapkan kata-katanya berulang kali, namun Nabi Ibrahim tidak juga menolehnya. Akhirnya Hajar bertanya,”Apakah Allâh yang memerintahkan hal ini kepadamu?”
Nabi Ibrahim menjawab,”Benar.”
Hajar menimpali, ”Kalau begitu, Allâh tidak akan menyia-nyiakan kami.” Kemudian Hajar kembali ke tempat semula. Digendongnya Ismail.
Ketika bekal air habis, Hajar mencari air berlari-lari dari bukit Shafa ke Marwah tujuh kali karena melihat bayangan air yang ternyata fatamorgana. Peristiwa ini diabadikan dalam ritual sa’i dalam haji dan umrah.
Bayi Ismail menangis kehausan dan gerak-gerakan kakinya menyibakkan pasir yang mengeluarkan air. Terus mengalir, terus mengalir. Zam…zam… zam… begitu orang Arab menyebut pancaran air yang terus membesar. Mata air itu yang kemudian memakmurkan negeri Bakkah. Menghidupi Hajar dan bayinya. Lintasan para kafilah makin ramai.
Hari Tarwiyah dan Arafah
Sesekali Ibrahim mengunjungi istri dan anaknya di Mekkah dengan berdoa kepada Allah agar diberi keberkahan di negeri yang aman.
Saat Ismail beranjak remaja, tumbuh sebagai pemuda tampan, halus budi, santun dalam tutur kata, perilaku, dan taat kepada orang tuanya.
Saat saling melepas rindu Ibrahim menerima perintah Allah untuk menyembelih putranya sebagai pengurbanan. Perintah itu datang dalam mimpi. Pada mulanya ia ragu. Benarkah ini perintah Allah? Perintah itu sangat tidak masuk akal. Mana ada ayah menyembelih putranya sendiri? Bukankah manusia menghargai nyawa manusia begitu tinggi? Manusia zaman itu pada menyembah dewa-dewa dan memberikan persembahan binatang, darah, atau tumbuhan. Nyawa manusia terlalu mahal untuk dikurbankan.
Di zaman itu di negeri lain di daratan Atlantik orang mempersembahkan darah dan jantung manusia untuk dewa Odin. Masyarakat Mesir dan Irak mempersembahkan wanita atau bayi merah untuk dewa yang mereka sembah.
Untuk mendapatkan kepastian mimpinya Ibrahim merenung. Inilah hari tarowa/tarwiyah. Berpikir mendalam. Ia pergi ke Mina pada tanggal 8 Zulhijjah. Ia berdzikir kepada Allah, berdoa, memohon petuntuk sepajang malam hingga tiba pagi. Esok hari tanggal 9 Zulhijjah ia berjalan menuju Padang Arafah. Sampai di Mas’aril Haram, berhenti. Lalu shalat dan berdzikir. Melanjutkan perjalanan ke kaki Jabal Rahmah, berjarak 20 Km di tenggara Masjidil Haram.
Seyyed Hossein Nasr dalam “Mecca the Blessed and Medina the Radiant menyebut di sini dulu nenek moyang manusia Nabi Adam dan Hawa dipertemukan kembali setelah keluar dari surga.
Ibrahim melakukan iktiraf. sampai memperoleh ‘arafa atau pengetahuan kebenaran tertinggi eksistensi Tuhan. Ibrahim mencapai puncak kearifan yang membawanya kepada kesadaran keilahian. Merasakan kehadiran sang Pencipta. Tabir keraguan tersingkap.
Lahirlah keyakinan. Ia sepenuhnya percaya, beriman kepada mimpinya. Ismail bukanlah miliknya. Ia milik Allah. Kalau Allah meminta kembali, maka itu hakNya. Dia pasrah. Ia laksanakan perintah Tuhannya sebagai pengurbanan Ibrahim.
Hari Penyembelihan
Disampaikanlah mimpi itu kepada putranya. Putranya menjawab dengan santun dan yakin. ”Laksanakan wahai ayah, apa yang diperintahkan Allah. Engkau akan melihatku nanti sebagai orang yang sabar.” (Ash-Shoffat:102)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ”Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Dia (Ismail) menjawab,”Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Lalu Ibrahim mendatangi istrinya menceritakan mimpi itu. Hajar percaya suaminya sebagai orang yang dekat dengan Tuhan walaupun mimpi itu sangat aneh.
Ibrahim, Hajar, dan Ismail adalah orang yang dalam perjalanan hidupnya telah membawa dalam pengalaman spiritual tinggi. Kepasrahan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Pemilik segala yang ada di langit dan bumi. Semua semesta.
Ibrahim mengajak istri dan anaknya ke Muzdalifah, bermunajat semalam. Saat matahari naik, ia menuju Mina. Hajar dan Ismail mengikutinyanya. Setan datang menghalangi langkah Hajar. Dilemparinya setan itu dengan batu kerikil beberapa kali. Peristiwa ini diabadikan menjadi lempar jumroh ula, wustha dan aqabah.
Di atas bukit Arafah, dibaringkan Ismail di atas batu lalu menutup matanya. Ismail meminta ayahnya mengikat tangan dan kakinya. Ibrahim meletakkan pisau pada leher Ismail. Pengurbanan Ibrahim siap, pada detik itu firman Allah datang.
وَنَٰدَيْنَٰهُ أَن يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ibrahim menarik pisaunya. Batallah penyembelihan Ismail di altar bukit Arafah. Lalu dia memotong domba untuk mewujudkan rasa syukur sebagai persembahan kepada Tuhannya.
Koreksi Atas Visi Manusia
Segala sesuatu di dunia ini hakekatnya adalah milik Allah semata. Jika Ia menghendaki Allah pasti memintanya kembali. Saat Allah meminta ada manusia yang keberatan menyerahkannya dan ada yang mudah melepaskannya. Bagi orang yang beriman kecintaannya kepada Allah jauh lebih besar daripada kecintaannya terhadap dunia dengan segala isinya, termasuk anak dan istrinya. Kalau Allah meminta semua akan diberikannya.
Tidaklah seseorang dibiarkan beriman kecuali Dia akan menguji keimanannya. Ibrahim sekeluarga telah lulus dalam ujian itu. Nyawa manusia harus diserahkan kalau Allah memerintahkan dan meminta. Apalagi jika yang diminta itu hanyalah seekor domba, kambing, sapi, kendaraan, rumah, tanah, perhiasan, harta benda, dan jabatan. Inilah visi hidup manusia kepada Allah.
Penyembelihan Ismail diganti domba merupakan kasih sayang Allah kepada manusia beriman yang ikhlas. Peristiwa itu juga pesan kepada manusia supaya menyembelih sifat kebinatangannya. Utamakan sifat kemanusiaan. Itu makna pengurbanan Ibrahim.
Wa Allahu a’lam bi al shawwab.
Editor Sugeng Purwanto