Mendidik Anak untuk Dunia, Hati-Hati Disorientasi! Liputan Sayyidah Nuriyah
PWMU.CO – Kalau urusan dunia, investasi mati-matian. Untuk sesuatu yang everlasting (akhirat) kamu doing nothing (tidak melakukan apa-apa)? Padahal dunia itu cuma main-main, tapi kamu serius mengerjakannya sedangkan untuk akhirat yang serius, kamu cuma main-main mengerjakannya?
Pertanyaan renungan ini mencuat di tengah Halaqah Ummahat yang digelar Ikatan Wali Murid (Ikwam) dan Tim Pengembangan dan Pembinaan Karakter (PPK) SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Jawa Timur. Motivator Evi Silvia Zubaidi menyampaikannya di hadapan ratusan bunda wali siswa SD Mugeb kelas I-VI yang memakai dresscode bernuansa biru.
Bunda Evi, sapaan akrabnya, lantas memaparkan bentuk-bentuk disorientasi manusia yang lebih serius melakoni urusan dunia daripada akhirat. “Saking sibuknya mengerjakan pekerjaannya, sampai shalatnya di ujung waktu. Alangkah beraninya mempertaruhkan keselamatannya sendiri!” contohnya.
“Saking sibuknya bekerja, sampai tak sempat membaca mushaf al-Quran. Saking sibuknya kuliah, sampai tak sempat mengikuti majelis ilmu,” lanjutnya, Jumat (16/7/2023) pagi.
Selain itu, Bunda Evi juga mengungkap, ada ibu-ibu yang mengaji dimana-mana tapi sampai di rumah tetap mudah marah. Alhasil, sang suami bertanya, “Mama kenapa tidurnya membelakangi papa?”
“Sunnahnya ngadep kanan,” jawab si istri judes. Tawa jamaah di lantai 1 Masjid al-Khoory KH Faqih Oesman Kampus Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) langsung pecah melihat Bunda Evi luwes memerankan obrolan ala suami-istri itu.
Motivator ini pun menegaskan, mar’atus shalihah (wanita shalih) itu kalau seorang istri dipandang suaminya menyenangkan. Sama halnya ketika keluar bertemu teman-teman menunjukkan penampilan glowing, wangi ala ratu, dan ramah.
Disorientasi Mendidik Anak
Kata Bunda Evi, mendidik anak untuk urusan dunia juga termasuk disorientasi (salah arah) sebab dunia serba tidak pasti. “Anak ngotot disekolahkan di kedokteran, lalu menikah dengan konglomerat, tidak boleh bekerja,” contohnya.
Sesungguhnya, lanjut Bunda Evi, kita ini berjalan dari titik lahir ke titik mati. “Ini harus kita pahamkan ke anak-anak. Dunia umurnya 70 tahun saja. Urusan dunia ini longgar. Kalau anda gagal sekarang, bisa diulang lusa. Kalau mati, inilah kehidupan kita sesungguhnya, tidak bisa lagi kita betulkan sesuatu yang salah,” ungkapnya.
Dia menekankan, “Urusan akhirat inilah sesungguhnya yang harus kita bicarakan!” Kepada para jamaah, ia lantas mencontohkan bahasan yang mestinya dibicarakan bunda dengan anaknya ketika di meja makan, di ruang bermain, maupun ketika rekreasi. “Apa agamamu? tanya malaikat. Bisa kamu jawab Islam padahal kamu tidak melakukan ibadah ketika hidup?”
“Siapa nabimu? Bisa kita bilang Rasulullah padahal kita tidak pernah mengikutinya? Sudah kita kerjakan kah? Kita masih nggondok’an. Kamu sudah memberi? Memberi hanya ke yang kamu suka tapi membenci yang tidak kamu sukai. Kita harus mengikuti cara Rasulullah. Tidak boleh, Nak menyambung rambut,” lanjutnya.
Bunda Evi mengharuskan para bunda memberikan orientasi jangka panjang–yang pasti akan dialami–kepada anak-anaknya. “Ujung jalan ini hanya ada dua, kalau tidak di surga ya neraka. Itu yang harus kita bicarakan kepada mereka!” tuturnya.
Dia kemudian mencontohkan, “Di Mahsyar kita dihisab. Setelah itu ada masa kita dihadapkan di Mizan, Nak. Di Mizan itu pasti dialami.”
Bunda Evi mengakui ini sulit diterapkan. Ketika merasakan mengurus anak itu sulit, Bunda Evi mengingatkan, setiap yang bunda kerjakan pasti ada balasannya, dibayar Allah. “Kita nggak kober sambat. Di antara mengeluh dan bersyukur itu sangat tipis,” ungkapnya.
Ia pun mengutip al-Zalzalah ayat 7: فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ.
Maknanya, setiap kerjaan ada balasannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni