Perlunya Pendidikan Seks sejak Dini, agar Ngompol Tidak Dikira Mimpi Basah; Liputan Sayyidah Nuriyah
PWMU.CO – Pembahasan tentang cara menyampaikan pendidikan seks sejak dini pun terungkap di sesi pertanyaan Halaqah Ummahat bertema ‘Investasi Sejati, Kembalikan Fitrah Buah Hati’, Jumat (16/6/2023) pagi.
Ini bermula ketika salah satu peserta, Muharningsih, menanyakannya. Ibunda dari Firzana Hanifa kelas III Excellent SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik ini mengungkap kegelisahannya.
“Saya selama 14 tahun menjadi guru masih punya PR (pekerjaan rumah) berat bagaimana menyampaikan pendidikan seks sejak dini untuk anak saya sendiri maupun siswa tingkat SD-SMP,” ungkap guru SMP Negeri 3 Gresik itu.
Motivator Evi Silvia Zubaidi yang menjadi pemateri di kajian yang digelar Tim Pembinaan dan Pembiasaan Karakter (PPK) bersama Ikatan Wali Murid (Ikwam) SD Mugeb ini menegaskan, pendidikan Islam tidak seperti Barat. Dalam Islam, hanya ada fase anak-anak dan dewasa. Batasnya baligh, jadi dewasa dimulai sejak baligh.
SD Kelas Bawah
Menyampaikan pendidikan seks ini menurut Bunda Evi, sapaan akrabnya, bisa dimulai sedini mungkin. Dia menceritakan pengalamannya ketika mulai memberi pemahaman kepada anaknya yang masih kelas II SD.
“Temanmu yang kerudungnya panjang itu namanya siapa? Bunda seneng banget! Bunda kalau punya menantu penginnya yang kerudungnya panjang,” dia memberi contoh.
Contoh lainnya, “Tadi temanmu siapa yang ngajinya bagus? Ih Bunda seneng banget! Bunda berharap besok kamu menikah dengan istri yang ngajinya bagus.”
Pemahaman seperti itu sudah dia tanamkan sejak anaknya SD kelas bawah, tidak menunggu ketika sudah kelas atas. Bunda Evi mengimbau, “Jangan menasihati anak-anak yang sedang jatuh cinta.”
Misal, ketika anak sudah pacaran, orang tua baru menasihati, “Jangan pacaran, dia tidak berkerudung!”
Besar kemungkinan anak zaman sekarang yang tengah jatuh cinta itu membantah, “Nanti kalau sudah menikah tak kerudungi.”
Bunda Evi pun menyeletuk, “Dipikir tudung saji!” Gerrr! Jamaah spontan tertawa mendengarnya.
SD Kelas Atas
Ibu tiga anak ini pun membagikan pengalamannya mendampingi ketiga anak laki-lakinya menjelang baligh. “Ketika anak-anak mulai SD kelas IV-V, saya sama suami tiap hari mengatakan, nanti ada masa bagi kalian mimpi basah. Seperti ngompol. Bukan air seni tapi air mani. Nanti kalian tahu kalau sudah mengalami,” ujarnya.
Tiap tiga pekan dia dan suaminya bergantian bertanya, “Sudah mimpi basah?” Fakta ini bikin jamaah kompak tertawa.
Gerr-gerran terdengar lagi saat Bunda Evi, mengungkap, “Pernah anak kami bilang dia mimpi basah padahal ternyata ngompol.”
Bunda Evi mengimbau agar pendidikan seks ini tidak diserahkan ke sekolah saja. Alhasil, tiap Jumat ketika anaknya mulai baligh, si suami mengajarkan tutorial mandi besar. “Bagaimana masuk kamar mandi, berdoa, menyiram, membersihkan,” paparnya.
Begini alasannya: “Menurut kami berdua, ini event terpenting bagi seorang Muslim. Karena kalau ini salah, ibadahnya tidak diterima.”
Setelah mengungkap peran suaminya sebagai ayah, dia menceritakan perannya sebagai ibu. Dia mengajak anaknya duduk dan menjelaskan, “Mas, kamu sekarang sudah baligh. Ditandai mimpi basah yang tadi kamu alami. Semua mengalaminya. Tidak perlu malu.”
“Artinya kamu sudah dewasa. Segala sesuatu sudah kamu tanggung sendiri. Kalau kamu bersetubuh dengan perempuan sudah baligh, lalu kamu berjima, kamu siap-siap mendapat keturunan. Setiap kebaikan dan keburukan kamu sendiri yang mempertanggungjawabkannya ke Allah. Ayah Bunda tidak lagi menanggungnya.”
Untuk Anak SMP
Bunda Evi memahami kondisi psikologis anak SMP mulai suka dengan lawan jenis. Maka dari itu, kepada anaknya yang sudah SMP, Bunda Evi bertanya, “Ada temanmu yang cantik, Le? Gak apa, suka lawan jenis itu fitrah. Tidak dilarang. Masalahnya kalau sebesar ini kamu tidak pernah suka lawan jenis itu tidak normal.”
Tak hanya sampai situ, sang suami menegaskan, “Tapi pacaran di dalam Islam itu tidak ada. Kalau kamu suka sama orang dan bilang, segera bilang ayah, nanti ayah lamar.”
Mendengar respon sang ayah, anaknya bertanya, “Kan SMP, Yah? Kok sudah menikah?” Ternyata ayahnya membolehkan, “Nanti ayah yang akan tanggung biayanya!”
Begitulah proses yang mereka jalankan sebagai ayah dan ibu ketika mendampingi anak yang baligh: berdiskusi dan mendampingi. Hasilnya, anaknya yang sudah menikah tidak berpacaran, tapi melalui taaruf. “Sekarang mereka berpacaran,” celetuknya mengundang tawa jamaah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni