Hukum Menyematkan Gelar Haji atau Hajjah; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ مَا بِرُّ الْحَجِّ الْمَبْرُورُ؟ قَالَ: إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ. حديث حسن, رواه أحمد.
Dari Jabir radliyallahuanhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ‘Haji mabrur tiada balasannya kecuali surga.’ Mereka bertanya: ‘Wahai Nabi Allah apa itu haji yang mabrur?’ Rasulullah bersabda: ‘Memberi makan dan menebarkan salam.’ (HR Ahmad)
Haji Mabrur
Mabrur dari kata barra yaburru bira an wa baraaratan wa buruuran yang berarti taat berbakti pada, bersikap baik, sopan. Haji memiliki dampak positif mengubah sikap yang lebih baik dari sebelumnya. Ada perubahan yang bisa jadi drastis atau sangat signifikan pada pelakunya. Itulah yang kemudian disebut sebagai haji mabrur sesuai dengan harapan dari di syariatkan ibadah haji itu sendiri.
Hadits di atas memberikan penjelasan tentang haji mabrur itu adalah memiliki kepekaan sosial bagi kehidupan sekelilingnya, yakni memiliki peran aktif dalam rangka menebarkan mashlahah bagi umat. Jadi dalam hal ini seolah Allah dan Rasul-Nya menegaskan bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji agar lebih peduli pada nasib umat, baik secara ekonomi atau kesejahteraannya, jaminan keamanannya, dan seterusnya.
Termasuk yang tidak kalah pentingnya dan merupakan bagian yang terintegrasi dengan syariat ini adalah jalur politik, karena bagian ini seringkali dianggap kotor dan tabu tetapi tetap dijalaninya. Nasib umat ini menjadi semakin tidak jelas karena masing-masing pemimpin umat sudah terjebak pada kepentingan kelompok dan organisasinya saja, sementara nasib umat dan agama ini menjadi dinomorsekiankan. Padahal jika berbicara nasib umat sama dengan nasib bangsa itu sendiri karena mayoritas bangsa kita adalah kaum muslimin yang anti penindasan kepada yang minoritas.
Pemimpin umat seharusnya menyadari bahwa tanggung jawab sebagai pemimpin bukan hanya pada umatnya yang seorganisasi semata, akan tetapi harus memiliki sikap kebangsawanan yaitu kepentingan umat dan agama ini jauh di atas kepentingan kelompok. Memiliki tingkat berpikir yang obyektif untuk kapan berbicara demi kepentingan kelompok dan kapan harus menanggalkan kepentingan kelompok demi kepentingan yang lebih besar.
Baca sambungan di halaman 2: Niat Haji dan Menyematkan Gelar Haji atau Hajjah