Niat Haji
وَأَتِمُّواْ ٱلۡحَجَّ وَٱلۡعُمۡرَةَ لِلَّهِۚ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. (al-Baqarah 196)
Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, haji juga di samping membutuhkan persiapan fisik dan juga harta juga dibutuhkan persiapan mental spiritual. Justru persiapan inilah yang paling penting dan urgen atau yang lebih penting dan utama, itulah sebabnya mengapa niat merupakan rukun pertama dari setiap ibadah, jika niatnya salah akan berdampak pada perilaku, demikianlah persentase kebenaran dari niat itu akan mempengaruhi sejumlah persentase dari hasil yang akan didapatkannya.
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى… متفق عليه
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan…”
Maka menyiapkan niat dengan baik merupakan keniscayaan bagi setiap pelaku kebaikan. Allah akan membalas sesuai niat seseorang, dan yang mengetahui akan hal ini hanya Allah dan dirinya sendiri. Dengan demikian mengilmui niat juga menjadi sangat penting karena hal ini terkait dengan kekuatan akidah yang dimilikinya. Jadi muara dari niat itu adalah kekuatan akidah atau keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menyematkan Gelar Haji atau Hajjah
Menyematkan gelar haji atau hajjah di antara para ulama ada beberapa pendapat. Di antara para ulama ada yang berpendapat bid’ah karena dianggap sesuatu yang mengada-adakan. Sebagaimana dalam fatwa Lajnah Daimah Lilbuhutsil Ilmiyah wal Ifta’. Para sahabat dan generasi setelahnya juga tidak ada yang menyematkan gelar demikian.
Ibadah haji sama dengan ibadah lainnya yang termaktub dalam rukun Islam, sehingga niatnya hanya semata-mata karena Allah dan tidak mengharapkan panggilan atau gelar, sebagaimana dalam ayat di atas.
Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala ‘anhu berpendapat bahwa para ulama bersepakat bahwa diharamkan memberikan gelar terhadap yang tidak disukai oleh seseorang, diperkenankan dengan penyebutan demikian bagi orang yang tidak tahu akan hal itu. Dan para ulama bersepakat atas apa yang disenangi oleh saudaranya seperti para sahabat Nabi yang mendapatkan gelar berbagai macam. Adapun gelar haji atau hajjah boleh-boleh saja jika tidak dikhawatirkan menjadi ujub atau riya’, karena dampak dari ujub dan riya’menjadikan ibadahnya tidak bernilai bahkan malah sebaliknya. Wallahu a’lam. (*)
Hukum Menyematkan Gelar Haji atau Hajjah adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 14 Tahun XXVII, 23 Juni 2023
Editor Mohammad Nurfatoni