Pesan Kemanusiaan Ibadah Haji dan Kurban, Khutbah Idul Adha 2023; Oleh: Prof Dr Biyanto MAg Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدٍ الَّذِي أُرْسِلَ بِدِيْنِ الْحَقِّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ مُتَمِّمًا لِمَكَارِمِ اْلأَخْلاَقِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَاإِخْوَانِي الْكِرَامُ رَحِمَكُمُ اللهُ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، اِتَّقُوا اللهَ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Pada hari raya Idul Adha 1444 /2023 ini marilah kita renungkan pesan kemanusiaan yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah haji dan perintah berkurban. Hal ini penting karena jika kita renungkan seluruh ibadah yang diperintahkan Allah SWT pasti memiliki pesan kemanusiaan. Ibadah shalat, misalnya, meski diawali dengan takbiratul ihram (takbir yang mengharamkan) sebagai formalisasi hubungan hamba dengan Allah (hablun minallah), namun jangan lupa bahwa shalat diakhiri dengan “taslim”, yang berarti doa keselamatan dan kesejahteraan bagi umat. Dalam hal ini, bacaan “salam” secara simbolik bermakna perintah untuk membangun hubungan baik dengan sesama manusia (hablun minan-nas).
Pesan kemanusiaan juga tampak jelas dalam perintah berpuasa. Meski puasa dikatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersifat sangat pribadi, namun ibadah puasa diakhiri dengan perintah membayar zakat fitrah. Zakat fitrah yang mengiringi ibadah puasa jelas sekali memberikan pesan kemanusiaan yang sangat fundamental. Bagaimana dengan perintah mengeluarkan zakat, infak dan sedekah (ZIS)? Pesan kemanusiaan perintah ZIS jelas lebih kuat lagi. Pesan saling menolong dan berbagi dengan sesama jelas ada dalam perintah ZIS. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa dalam setiap ibadah yang diperintahkan Allah SWT pasti mengandung pesan kemanusiaan yang sangat penting.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Pertanyaannya, bagaimana dengan pesan kemanusiaan dalam ibadah haji? Tidak diragukan lagi, beribadah haji ke Tanah Suci merupakan dambaan setiap Muslim. Padahal dalam al-Qur’an ditekankan bahwa ibadah haji tidak diwajibkan pada setiap Muslim. Ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan (istitha’ah) dalam pengertian yang luas. Penting disadari bahwa pelaksanaan ibadah haji bukan hanya berkaitan dengan kemampuan finansial dan kekuatan fisik. Ibadah haji juga mensyaratkan kesiapan mental spiritual dan jaminan keamanan. Karena itulah, persyaratan “kemampuan” begitu ditekankan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta (Ali ‘Imran/3: 97).
Selain untuk menyempurnakan rukum Islam, ibadah haji selalu memberikan pengalaman keagamaan yang begitu mendalam. Karena itu, dapat dipahami jika gairah umat untuk menjalankan ibadah haji selalu menggelora. Bagi mereka yang sudah berhaji sekalipun, hasrat berkunjung ke Tanah Suci tetap tinggi. Hal itu dapat dilihat dari antrian calon jamaah haji (CJH) yang terus mengular. Tentu banyak motivasi orang menunaikan ibadah haji. Di antaranya adalah karena janji Rasulullah SAW dalam sabdanya:
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya: Siapa yang mengerjakan haji, tidak melakukan hal-hal yang rafats (berkata yang tidak senonoh sehingga menimbulkan birahi atau berkaitan dengan seks) dan tidak pula fusuq (melanggar peraturan haji), maka ia kembali suci dari dosa bagai ia lahir dari ibunya (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Jamuan Allah
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Menurut data Kementerian Agama, saat ini rata-rata antrean CJH di sejumlah daerah di Jawa Timur sekitar 30-35 tahun. Bahkan, di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antrean CJH mencapai 40-45 tahun. Data antrian CJH menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan ghirah umat untuk beribadah. Antrian jamaah haji yang luar biasa juga bisa dimaknai adanya perbaikan perekonomian umat. Hal itu karena umat memiliki kemampuan untuk membayar ongkos naik haji. Fenomena ini jelas patut disyukuri.
Kuota haji Indonesia pada tahun ini memang sudah kembali ke jumlah normal sebagaimana sebelum era pandemi. Pada 2023, sebanyak 221.000 CJH asal Tanah Air menunaikan ibadah haji. Sementara CJH yang belum berangkat tidak memiliki pilihan lain. Mereka yang telah mengantre selama puluhan tahun itu harus bersabar hingga pada saatnya dipanggil sebagai tamu-tamu Allah SWT (wafdullah). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:
اَلْحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللَّهِ إِنْ دَعَوْهُ أَجَابَهُمْ وَإِنِ اسْتَغْفَرُوهُ غَفَرَلَهُمْ
Artinya: Orang yang berhaji dan berumrah (ke Baitullah) adalah tamu Allah, jika mereka berdo’a dikabulkan Allah, dan jika mereka meminta ampun diampuni Allah (HR al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Sebagai tuan rumah, Allah pasti menyambut siapapun yang datang ke Tanah Suci. Bangunan Ka’bah (Baitullah, rumah Allah) yang menghadap ke semua penjuru melambangkan bahwa Allah akan menjamu siapapun yang datang dan dari negara manapun. Inilah pesan kemanusiaan ibadah haji yang disimbolkan melalui pakaian ihram tamu-tamu Allah. Mereka semua sama di hadapan Allah. Para tamu Allah itu hanya dipersyaratkan datang ke Tanah Suci dengan membawa bekal terbaik. Dalam pandangan al-Qur’an, bekal terbaik itu adalah bertakwa pada Allah. Allah berfirman:
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (al-Baqarah: 197).
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketakwaan merupakan kumpulan dari nilai-nilai keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan dan kelemahannya di hadapan Allah. Tanpa ketakwaan para jamaah tidak akan mampu memahami rangkaian ibadah haji. Dengan ketakwaan yang mendalam, maka tamu-tamu Allah itu akan merasakan kesyahduan dan kekhusyukan dalam beribadah haji. Para jamaah akan selalu merindukan setiap tahapan dalam keseluruhan rangkaian ibadah haji.
Tamu-tamu Allah itu pasti akan selalu terbayang ketika mengelilingi Baitullah (thawaf), berjalan mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwa (sa’i), berkumpul di Arafah (wuquf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), menggunting atau mencukur rambut (tahalul), mencium batu hitam (hajar aswad), pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki tidak boleh menutup mata kaki, dan apabila pakaian telah dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu pun bila dilakukan akan dikenai denda. Lebih-lebih jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tumbuh-tumbuhan. Semua tahapan ibadah haji ini, jika dipahami dengan baik pasti akan memberikan pengalaman ruhani yang mendalam.
Jejak Khalilullah Ibrahim
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Secara keseluruhan ibadah haji tidak dapat dilepaskan dari Nabi Ibrahim. Bahkan, dikatakan bahwa ibadah haji tidak dapat dipahami dengan baik tanpa mengenali sosok dan karakter Ibrahim. Quraish Shihab (2000) menjelaskan salah satu keistimewaan Nabi Kekasih Allah (Khalilullah) itu adalah bahwa melalui Ibrahim kebiasaan mengkorbankan manusia sebagai sesaji atau tumbal dibatalkan Allah. Allah mengganti Ismail yang akan disembelih Nabi Ibrahim dengan hewan sembelihan yang besar (ash-Shaffat: 100-107).
Hal itu terjadi bukan karena manusia terlalu mulia untuk dikorbankan, melainkan karena rahmat dan kasih sayang Allah semata. Sebab jika Allah telah berkehendak, maka apapun yang kita miliki harus diserahkan. Karena itu, perintah berkurban dalam rangkaian ibadah haji penting ditunaikan. Nabi Muhammad mengancam mereka yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban. Dengan tegas Nabi melarang mereka mendekati tempat salatnya (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Jika dilacak secara historis, berkurban tergolong ibadah yang paling awal diperintahkan Allah pada manusia. Itu dapat dipahami dari perintah Allah pada anak-anak Nabi Adam, yakni Habil dan Qabil. Allah memerintahkan keduanya untuk berkurban dengan kurban yang terbaik. Habil dan Qabil lantas berkurban dengan caranya masing-masing. Kisah pengorbanan pertama dalam sejarah peradaban manusia ini diabadikan dalam al-Qur’an (al-Maidah: 27-31).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Perintah berkurban (al-udlhiyah) dalam rangkaian perayaan Idul Adha secara khusus merujuk pada kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Kisah penyembelihan Ismail yang kemudian diganti dengan hewan sembelihan sekaligus mengajarkan pentingnya komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Melalui ibadah kurban umat diperintahkan untuk membantu sesama tanpa melihat latar belakang sosial, agama, dan etnis.
Disamping sebagai bentuk pengabdian pada Allah, ibadah kurban memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat. Hal itu tercermin dari ajaran untuk menyembelih hewan kurban dan membagikannya pada mereka yang berhak. Terkait perintah berkurban ini sejumlah organisasi sosial keagamaan melalui ijtihad para ulamanya memberikan beberapa pilihan.
Pertama, umat disarankan lebih mengutamakan bersedekah berupa uang daripada menyembelih hewan kurban. Sedekah uang dapat langsung dibagikan pada masyarakat yang kurang mampu. Uang kurban juga dapat diserahkan ke sejumlah Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah (Lazis) untuk dibelanjakan hewan kurban dan disembelih. Selanjutnya, daging sembelihan dirupakan berbagai masakan yang dikemas dalam kaleng untuk dibagikan ke masyarakat. Dengan cara ini, daging kurban tidak harus dihabiskan pada saat Idul Adha.
Kedua, umat yang mampu bersedekah dengan uang sekaligus berkurban dapat menunaikan keduanya. Ijtihad ini merupakan terobosan untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan dalam kehidupan. Penting dipahami, bersedekah dengan uang atau menyembelih hewan kurban untuk kepentingan kemanusiaan bernilai sama baiknya di hadapan Allah SWT.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Hadirin Rahimakumullah
Marilah kita berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan saudara-saudara kita yang pada tahun ini berkesempatan diundang sebagai tamu-tamu Allah. Sementara untuk saudara-saudara kita yang belum berkesempatan menjadi tamu Allah, semoga pada saatnya nanti dapat menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Amin. (*)
Pesan Kemanusiaan Ibadah Haji dan Kurban, Khutbah Idul Adha 2023 oleh Prof Biyanto; Editor Mohammad Nurfatoni