Lima Hikmah dari Kisah Pengorbanan Keluarga Nabi Ibrahim; Liputan Luqman Wahyudi
PWMU.CO – Penyelenggaraan shalat Idul Adha 1444 di lapangan Kuti, Kutorejo Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menghadirkan Drs Yoyon Mudjiono dari Surabaya—anggota Majelis Tabligh PWM Jatim sebagai imam dan khatib.
Lokasi lapangan yang sangat strategis di pinggir Jalan Raya Pandaan-Bangil, tepatnya di Jalan Pahlawan Sunaryo No 18, membuat banyak yang hadir. Tidak kurang 1000 jamaah hadir dari warga Muhammadiyah dan simpatisan.
Mengawali khutbahnya Ustadz Yoyon, sapaan dia, mengingatkan kepada jamaah untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT, karena dengan takwalah kita akan mendapatkan kemuliaan hidup di dunia ini lebih-lebih di akhirat kelak.
Yang kedua dia mengingatkan kepada jamaah untuk tidak lupa diri bahwasanya kita ini bergantung kepada Allah SWT, dilahirkan tidak membawa apa-apa, tidak punya apa-apa, dan sampai punya apa-apa, bisa melakukan apa saja, karena Allah SWT.
Berbicara tentang Idul Adha tidak akan bisa lepas dari tiga tokoh sentral yaitu, Ibrahim al-Khalilullah, Ismail alaihissalam, dan Siti Hajar radhiyallahuanha. Ketiganya memiliki keikhlasan yang luar biasa.
Bagaimana Ibrahim rela ikhlas meninggalkan Ismail dan Hajar di padang yang tandus yaitu Bakkah (Makkah) untuk memenuhi perintah Allah dalam berdakwah. Bagaimana Siti Hajar dengan berat hati melepas kepergian sang suami menjalankan perintah Allah. Bagaimana Ismail menerima berita dari ayahnya untuk melaksanakan penyembelihan kepada dirinya atas perintah Allah. Seperti halnya yang difirmankan oleh Allah dalam surat ash-Shafat ayat 100-110.
Bagaimana dengan kita sebagai orang tua yang ketika mendapatkan ujian, apakah kita ikhlas menerimanya seperti Ibrahim? Bagaimana seorang istri apabila suaminya pergi berdakwah dan mencari nafkah, apakah curiga, khawatir, dan tidak ikhlas?
Bagaimana kita menjadi seorang anak apakah sudah seperti Ismail yang dengan ikhlas hati menerima permintaan ayahnya sesuai dengan perintah Allah SWT?
Ustadz Yoyon menjelaskan, iIntisari dalam surat tersebut adalah, pertama hendaklah orang tua selalu rutin mendoakan anaknya untuk menjadi anak yang shalih. “Karena kita akan merasa butuh dengan anak-anak ketika kita sudah tua dan ketika meninggal kita akan mengharapkan doanya,” ujarnya.
Kedua, hendaklah kita selalu memberi keteladanan yang baik pada anak-anak kita menuju ketaatan kepada Allah SWT.
Ketiga hendaknya membangun komunikasi interpersonal dengan anak-anak kita, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang baik.
Keempat tanamkan kepada anak-anak bahwa berkurban itu penting, dan libatkan mereka dalam kepanitiaan.
Kelima kita harus yakin bahwasanya Allah akan memberikan balasan yang lebih baik dari amal kebaikan yang kita kerjakan.
Di akhir khutbah, dia mengajak untuk selalu membaca doa Nabi Ibrahim untuk kemaslahatan Makkah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 126:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖيمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ;’Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.’ (*)
Editor Mohammad Nurfatoni