PWMU.CO – Keberagamaan kita harus memiliki fondasi Iman, Islam, dan Ihsan. Demikian intisari khutbah Dr Piet Hizbullah Khaidir SAg MA dalam shalat Idul Adha di Stadion Banyuangga Kota Probolinggo, Rabu (28/6/2023).
Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan ini mengajak para jamaah untuk merenungkan kembali kisah perjuangan Nabi Ibrahin dan Nabi Ismal.
“Sejenak kita kembali kepada Kitab Suci al-Qur’an untuk mengetahuinya. Tak kurang dari 59 kali al-Qur’an mengabadikan nama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, baik dalam penyebutan secara sendiri ataupun bersamaan, juga bersamaan dengan nabi-nabi keturunan Ibrahim lainnya sebagai penyokong agama hanif,” tandas pria kelahiran tahun 1976 ini.
Menurutnya, ayat-ayat yang disebutkan al-Qur’an menyatakan nilai-nilai utama yang bisa disebut sebagai jejak dan pesan keshalihan Ibrahim dan Ismail, yang di antaranya: kemantapan tauhid, kepekaan, dan keikhlasan.
“Nilai-nilai tersebut membuat kedua nabi Allah ini mendapatkan sematan agung di dalam al-Qur’an, yaitu: Nabi Ibrahim sebagai Shiddiqan Nabiyyaan (seorang Nabi yang menjaga hati, lisan, dan perilakunya untuk selalu benar di jalan Allah). Sedangkan Nabi Ismail sebagai Shadiqul Wa’di wa Kaana Rasuulan Nabiyyaa (seorang Nabi dan Rasul yang selalu menepati janji) serta juga Minal Akhyar (termasuk orang pilihan),” urainya.
Sekitar 900 jamaah menyimak isi khutbah pria asal Jember ini. Piet menjelaskan nilai-nilai di atas secara gamblang dapat dibuktikan dalam peristiwa Idul Adha. Menurut Piet Idul Adha adalah hari raya yang terkait dengan pengorbanan Nabi Ibrahim alaihissalam, yang pernah diperintahkan Allaah SWT lewat mimpi untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail alaihissalam. Namun kemudian digantikan oleh Allah dengan seekor domba, karena memang perintah itu hanyalah ujian keimanan.
Dua Dimensi Ibadah Kurban
Lalu Piet secara detail menguraikan dua dimensi utama peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim, dan ibadah kurban yang diperintahkan Allah kepada kaum beriman, yaitu:
Pertama, hubungan vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablunminallah) yang harus berlangsung atas dasar keikhlasan pengabdian.
Piet memberikan pemahaman, hubungan yang ditegakkan atas dasar cinta tanpa pamrih. Sulit dibayangkan bahwa Nabi Ibrahim rela memenuhi perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya, buah penantian panjang dari kemandulan istrinya yang bertahun-tahun, kini sedang tumbuh berkembang sebagai seorang pemuda tampan. Logika manusia modern mungkin akan menolak perintah mimpi seperti itu yang hanya akan dianggap sebagai bunga tidur.
“Manusia modern mungkin akan mencari dalih bahwa perintah itu hanyalah tipu daya doktrin agama yang harus dihindari. Kecintaan manusia modern terhadap dunia menghalanginya untuk melenyapkan milik yang paling dicintainya lewat tangan sendiri,” jelas suami Umi Marwati.
Piet melanjutkan, “Namun, tidaklah demikian halnya dengan Ibrahim. Nabi yang dikenal sebagai ‘Bapak Monoteisme’—karena pencarian panjang dan intensnya akan Tuhan Yang Maha Esa—telah memilih jawabannya sendiri. Kecintaannya yang tulus kepada Allah, yang didasari pada keimanan yang kuat menghunjam dalam diri, dan ketaatannya kepada Allah yang mengatasi segala loyalitas kepada makhluk, telah menggerakkan hatinya untuk memenuhi perintah Allah, walau secara manusiawi sangat berat untuk dilaksanakan.”
Dalam prinsip bertauhid kepada Allaah SWT, kata lulusan University of Leeds, England, 2009, bahwa ada dua nilai yang mendasarinya. Yaitu: pertama, mengikuti atau menerima ketentuan atau hukum Allah tanpa syarat. Kedua, menjalaninya dengan sabar dan keyakinan bahwa Allah memiliki skenario yang terindah untuk hamba-Nya.
“Prinsip tauhid inilah yang dipraktikkan oleh Ibrahim dan Ismail sebagai jejak dan pesan keshalihan pertama Idul Adha. Marilah kita hayati percakapan antara Ibrahim dan Ismail ketika mereka mendiskusikan mimpi Ibrahim,” jelas Piet.
Piet mengutip firman Allah ash-Shaffat ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّبِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’”
Piet menyoroti fenomena masyarakat sekarang. “Manusia modern, akibat kesombongan dan keangkuhannya, telah banyak yang terjerembap ke dalam kenistaan dan kehinaan. Mereka terjatuh ke dalam pendewaan diri (individualisme), pendewaan bendawi (materialisme), dan pendewaan birahi (hedonisme).
Mereka mencari kesenangan hidup dengan memuaskan diri, mengejar materi dan kesenangan duniawi lain, tanpa kendali diri dan pegangan akan nilai Ilahi. Sebagai akibatnya, banyak dari manusia modern kemudian terjebak ke dalam kesenangan semu bukan kebahagiaan sejati.
Akhirnya, mereka hidup dalam derita dan nestapa, dengan jiwa yang sesungguhnya menangis dan bahkan menjerit walaupun mereka bergelimang harta benda dan kekayaan yang tiada terhingga,” tandas alumnus Ponpes Baitul Hikmah Tempurejo Jember tahun 1991 ini.
Baca sambungan di halaman 2: Dimensi Horizontal Kurban