Enam Teladan Kesalehan Keluarga Nabi Ibrahim; Liputan Rizka Ayu Fitrianingsih
PWMU.CO – Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Tugu Trenggalek menyelenggarakan shalat Idul Adha, Rabu (28/6/2023). Sedianya shalat akan diselenggarakan Lapangan Ranting Muhammadiyah Tumpuk, tapi karena hujan akhirnya dialihkan ke masing-masing masjid yang terdapat di setiap ranting Muhammadiyah Tumpuk.
Masjid Al-Mujahiddin adalah salah satu masjid di Ranting Muhammadiyah Tumpuk yang dipakai shalat Idul Adha. Diiikuti 100-an orang, shalat dilaksanakan pukul 06.30 WIB.
Nanang Eko Nurcahyanto SPd bertindak sebagai imam dan khatib. Ustadz Nanang, sapaannya, menyampaikan materi bertema: Kisah Keshalihan Nabi Ibrahim dan Keluarganya.”
Dia menjelaskan, keluarga Nabi Ibrahim adalah keluarga yang saleh. Maka kita sebagai Muslim harus paham bahwa kesalehan tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.
“Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mampu beramal dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dan ilmu tanpa amal tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dan tidak akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang saleh,” ujarnya.
Ustadz Nanang lalu menjelaskan sisi kesalehan keluarga Nabi Ibrahim yang dapat kita teladani. Di antaranya:
1. Nabi Ibrahim sangat kuat memegang teguh akidah dan syariat
Allah berfirman:
مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang memegang teguh Islam. Dia bukan pula termasuk (golongan) orang-orang musyrik.” (Ali \Imran: 68)
2. Berdakwah dengan penuh hikmah
Hal itu tercermin tatkala Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam agama Islam sebagaimana diceritakan dalam al-An’am ayat 41-44.
“Nabi Ibrahim yang dengan tetap menjaga adab seorang anak kepada orang tuanya menjelaskan dengan santun kepada ayahnya yang menyembah berhala bahwa berhala tidaklah dapat mendengar doa penyembahnya dan tidak dapat melihat penyembahnya.
Yang demikian itu, bagaimana mungkin ia dapat memberi manfaat kepada penyembahnya, memberi rezeki kepadanya atau menolongnya. Ibrahim mengajak ayahnya untuk menyembah kepada Allah semata, satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah.”
3. Berilmu, memiliki hujah yang kuat dan beramar makruf nahi mungkar dengan penuh keberanian.
Allah ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ
“Itulah hujah yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (al-An’am: 83).
4. Dalam berjuang menegakkan agama Allah, tidak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan. Rezeki telah diatur dan ajal sudah ditetapkan.
5. Tawakal sepenuhnya kepada Allah tanpa meninggalkan ikhtiar. Hal itu tercermin pada peristiwa saat Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Makkah yang tandus dan tiada sumber air.
Karena takwa dan tawakal yang tertanam kuat di hati Ibrahim dan Hajar, akhirnya Ibrahim meninggalkan keduanya karena menjalankan perintah Allah, dan Hajar pun rela ditinggal di tempat itu.
6. Bersegera menjalankan perintah Allah, seberat dan sebesar apa pun risikonya.
Dengan ketundukan yang total kepada Allah, Ibrahim bersegera menjalankan perintah itu tanpa ada keraguan sedikit pun. sebagaimana dikisahkan oleh Allah:
قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ
“Ibrahim berkata: ‘Duhai putraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?’”
Lalu dengan kemantapan dan keteguhan hati, Nabi Ismail menjawab dengan jawaban yang menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Allah jauh melebihi kecintaannya kepada jiwa dan dirinya sendiri:
قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Ismail menjawab: ‘Wahai ayahandaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
“Maka dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil banyak-banyak pesan sebagai berikut,” urainya.
Pertama, bagi kita yang masih punya ibu dan bapak, dengarkan nasihat mereka. Jika mereka taat kepada Allah maka jangan ragu lagi untuk patuh mengerjakan perintahnya karena tentu di dalamnya ada pahala.
Kedua, namun apabila satu di antaranya atau bahkan keduanya telah tiada, doakan mereka. “Jadilah anak saleh yang membantu mereka lewat panjatan doamu, dan sekali-kali jangan siksa mereka yang telah tiada dengan kehidupanmu yang justru malah jauh dari syariat Allah ta’ala,” pesannya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni