Mengawal Misi Muhammadiyah di Parlemen
Oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Zainuddin Maliki kemudian diminta mengawal misi Muhammadiyah di legislatif. “Karena Muhammadiyah di parlemen itu dianggap yatim piatu; tidak ada perwakilan,” katanya.
Menurut dia, wakil Muhammadiyah di parlemen bisa disebut hanya Zainuddin Maliki dan Saleh P Dauly—mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah. “Lumayan kalau di kabupaten itu masih ada anggota DPRD dari Muhammadiyah seperti Husnul Aqib. Itu adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lamongan. Tapi di tingkat nasional kita merasakan yatim piatu dalam politik,” ungkapnya.
Menurut Zainuddin Maliki ada beberapa hal yang sensitif, kalau Muhammadiyah tidak turut serta mengawal arah dan kiblat politik negara ini. Dia mencontohkan beberapa undang-undang bisa mengancam ekstensi Muhammadiyah. “Dan itu pernah terjadi,” katanya.
Di antaranya, lanjut dia, DPR pernah mengesahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Zainuddin mengungkapkan, di dalam satu pasalnya menyebutkan bahwa rumah sakit yang bisa diberi izin adalah yang berbadan hukum yang khusus bergerak di bidang rumah sakit.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyadari, kalau undang-undang ini disahkan, maka eksistensi rumah sakit Muhammadiyah terancam,” ujarnya. Karena rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak berbadan hukum secara khusus, melainkan mengikuti badan hukum Persyarikatan Muhammadiyah.
Menurut cerita Zainuddin, Prof Din Syamsuddin—Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu—langsung mencoba melakukan lobi di Senayan. Tapi tidak mendapat dukungan, karena tidak ada kader Muhammadiyah di Senayan. Akhirnya Undang-Undang Nomor 44 disahkan.
“Dan sejak itu rumah sakit Muhammadiyah tidak bisa memperpanjang izin operasional. Akhirnya PP Muhammadiyah menjalankan kebijakan yang kita kenal dengan istilah jihad konstitusi. Lima tahun kemudian berbuah hasil. Tahun 2014 Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan PP Muhammadiyah. Dan sejak itu kemudian rumah sakit Muhammadiyah mendapatkan payung hukum,” terang Zainuddin Maliki. (*)
Penulis Slamet Hariadi Editor Mohammad Nurfatoni