Oleh-Oleh Komitmen
Jika kembali merujuk pada kitab Hasyiyah Al Qalyubi wa Umairah, ada tiga hal yang disunahkan (sunah secara bahasa artinya kebiasaan atau dibiasakan) untuk menyambut haji, yaitu:
- Orang yang haji dianjurkan membawa oleh-oleh buat keluarga yang ditinggalkan.
- Orang yang pulang haji dianjurkan untuk shalat dua rakaat di masjid atau mushala.
- Warga sekitar dianjurkan untuk mengadakan naqi’ah atau penyambutan kedatangan bagi orang yang baru pulang haji.
Ironisnya, tiga nasehat penting itu cenderung hanya dipraktikkan sebagai ritus atau tradisi tanpa berupaya eksplorasi untuk menggali pesan substansialnya.
Pesan pertama memberikan ibrah atau pelajaran bagi orang yang pulang haji tidak menjadi pribadi yang pelit. Orang yang baru pulang haji harus berkomitmen menjadi pribadi yang tidak lelah untuk beramal demi kebaikan bersama. Beramal tidak semata-mata berkaitan dengan harta yang dikeluarkan, tetapi juga bermakna tidak mengambil harta orang lain secara terlarang atau ilegal.
Pesan kedua menjadi persaksian bahwa sepulang dari haji akan menjadi pribadi yang religius dan humanis. Yaitu menjadi pribadi yang mampu menyeimbangkan peran habl minallah dan habl minannas. Karena itu, shalat dua rakaat di masjid/mushalla dan tidak di rumah ( ruang privat) merupakan simbolisasi sebagai bagian dari jamaah di masjid sebagai ruang publik.
Dan pesan ketiga, penyambutan oleh warga menjadi bentuk apresiasi kepercayaan publik bahwa orang yang pulang dari menjalani ibadah paripurna tersebut pasti merupakan pribadi yang bisa dipercaya sebagai manusia yang berakhlak baik. Dan, hanya orang-orang yang berperangai baik—yang tidak mudah menyakiti dan merugikan orang lain—yang bisa diterima dilingkungan sosial.
Dengan demikian, oleh-oleh haji yang substansial bukanlah dongeng-dongeng atau makanan atau souvenir sebagai penanda sudah pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah, tetapi komitmen-komitmen untuk menjadi manusia yang utuh—manusia yang mengerti arti kemanusiaan dan menjunjung tinggi serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan secara totalitas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni