Semangat Hijrah Dua Peradaban
1 Muharram dan 1 Sura sama-sama menandai semangat hijrah dua peradaban menuju Islam. Rasulullah bersama sahabat berhijrah dengan berpindah dari Makah menuju Madinah. Sedangkan Sultan Agung yang memiliki kekuasaan sebagai Raja Jawa memimpin hijrah kalender atau penanggalan Jawa. Kekuasaan yang digenggam Sultan Agung tidak memerlukan perpindahan secara fisik sebab tidak ada gangguan yang berarti dalam proses hijrahnya.
Persamaan Hijrah Nabi, sahabat dan Sultan Agung adalah memulai lembaran baru bersama Islam dalam kehidupan kemasyarakatan, politik, dan pemerintahan, bukan dalam ibadah saja. Hijrah menandai dijadikannya Islam sebagai falsafah hidup dalam bermasyarakat dan tata kelola pemerintahan.
Dengan demikian peradaban Jawa bisa selaras dengan Islam, dengan beragam serapan istilah Arab dan Islam dalam budaya Jawa. Sebagaimana nama-nama hari dalam bahasa Jawa mengandung serapan bahasa Arab yaitu Ngahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, dan Setu.
“Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa selaras sebagai wujud akulturasi budaya Islam dan Jawa yang indah”
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung yang berusaha mengamalkan syariat Islam, Kerajaan Mataram menjadi termasyur tata tentrem karta raharja, gemah ripah loh jinawi.
Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa selaras sebagai wujud akulturasi budaya Islam dan Jawa yang indah. Artinya menjadi orang Jawa yang baik tidak harus menjauh dari nilai-nilai Islam. Demikian juga ketika ingin menjadi Muslim yang kafah tidak harus alergi dengan budaya Jawa yang telah di-Islam-kan oleh Sultan Agung.
Pertemuan Islam dengan budaya juga kearifan lokal menjadi ciri khas tumbuh dan berkembangnya Islam di Nusantara. Futuhat Islam ke beberapa kawasan Arab, Afrika, Eropa, India dan sebagainya seringkali diwarnai kilatan pedang dan derap kaki kuda perang.
Masuknya Islam di Nusantara berbeda, mayoritas menggunakan wasilah kultural, perdagangan, perkawinan, seni dan budaya. Dengan itu semua Islam menjadi kokoh tertanam di dalam lubuk hati sanubari masyarakat Indonesia.
Syariat Islam dan Budaya Jawa serta kearifan lokal lainnya bisa seiring sejalan, sebagaimana Persyarikatan Muhammadiyah dan Kasultanan Ngayogyakarta bisa satu hati merawat NKRI. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni