Abdullah Said sang Pendiri Hidayatullah, Pernah Aktif di Pemuda Muhammadiyah; Oleh M Anwar Djaelani peminat masalah kemasyarakatan dan penulis sepuluh buku.
PWMU.CO – Abdullah Said saat muda aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Aktif juga di Pemuda Muhammadiyah. Dia punya banyak ide. Dia pandai memberi motivasi orang.
Sebagai pelajar Abdullah Said cerdas. Sebagai pemuda dia memilik banyak kegiatan positif. Dalam perkembangannya, dia aktif berceramah. Dia pun suka menulis.
Ceramah dan tulisannya disukai banyak orang. Hal ini, sangat mungkin karena dia suka membaca. Tentang hobinya ini, bahwa dia kutu buku, telah menjadi rahasia umum. Sahabat-sahabatnya tahu, para penjaga atau pemilik toko buku tahu, dan para jamaah yang rajin mendengar ceramahnya juga tahu.
Dari Abdullah Said lahir banyak artikel. Dari ide dan inisiasi dia lahir majalah Suara Hidatullah yang hingga saat tulisan ini dibuat, tetap terbit teratur. Dari dia pula kita bisa pelajari Kuliah Syahadat, sebuah buku karyanya.
Buah Membaca
Abdullah Said lahir pada 17 Agustus 1945 di Sinjai, Sulawesi Selatan. Pada 1954, Abdullah Said pindah ke Makassar. Dia selesaikan SD dengan nilai tertinggi yang memungkinkannya bisa memilih sekolah lanjutan favorit. Dia memilih bersekolah di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) dengan masa studi 6 tahun. Di sekolah itu, siswanya mendapat beasiswa (istilahnya, Tunjangan Ikatan Dinas/TID).
Selulus PGAN dengan nilai tinggi, berbekal beasiswa Abdullah Said masuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar. Setelah setahun kuliah, dia memilih berhenti karena merasa tak mendapat tambahan ilmu. Hal itu, karena semua materi kuliah telah dibacanya.
Sudah dibaca? Memang, sejak kanak-kanak Abdullah Said sangat gemar membaca. Kesukaan membaca dan mengoleksi buku tentu membutuhkan biaya. Dia beruntung karena saat bersekolah sering mendapat beasiswa. Uang itu, setiap bulan hampir tak ada yang tersisa karena semua dibelikan buku.
Jika tidak acara, tiap Ahad atau hari libur lainnya dia gunakan berwisata ke toko buku. Toko buku di Makassar dilanggananinya. Dia sedih jika ada buku yang diinginkannya, tapi saat itu uang di kantongnya tak cukup. Biasanya, dia lalu melobi penjaga toko agar buku yang diingininya disisihkan sebuah. Dia berjanji, sesegera mungkin akan membelinya. Oleh karena Abdullah Said telah dikenal sebagai si kutu buku, karyawan toko tak berkeberatan.
Ketika di kemudian hari, di Balikpapan, Abdullah Said dikenal sebagai mubaligh muda yang cukup popular maka kesukaannya membaca semakin kuat. Dulu, di Balikpapan, hanya ada satu toko buku dan menjadi langganan Abdullah Said.
Sang pemilik toko buku merasa diuntungkan karena Abdullah Said lebih dari sekadar sebagai pelanggan yang setia. Hal ini karena saat berceramah, Abdullah Said kerap menunjukkan buku referensi yang dibacanya dan di mana membelinya. Akibatnya, buku yang dimaksud cepat habis di toko tersebut, laris dibeli jamaah.
Baca sambungan di halaman 2: Aktivis Tulen