Hijrah Dulu dan Sekarang
Wahyudi lantas mengajak jamaah mengingat gerakan-gerakan revival Islam pada era Orde Baru. Di mana kekuatan kelompok Islam yang dianggap menentang rezim Orde Baru itu biasanya langsung dipenjara, kemudian dibasmi. “Dulu gerakan ini tertutup, diam-diam,” terangnya.
Kemudian lulusan University for Peace, Costa Rica, itu melihat polarisasi gerakan, seperti Kampung Islam Talang Sari pada 1989, Tarbiyah pada tahun 90-an menggunakan konsep hijrah demikian.
Sementara kini, sambungnya, gerakan menjadi lebih terbuka dan ada pola reaksi gerakan. Baik itu dari Salafi, Hizbut Tahrir Indonesia, ISIS, dan otoritas keagamaan individual yang lain. Di antaranya Hanan Attaki dan Ustadz Adi Hidayat.
Dulu, lanjut Wahyudi, media yang digunakan masih mengikuti budaya cetak seperti buletin, buku-buku terjemahan, maupun penerbitan lokal. Kalau sekarang medianya berubah. “Mereka lebih banyak menggunakan media sosial dengan platform digital yang berbeda, dengan kekhususannya masing-masing. Seperti Instagram, YouTube, Facebook, Twitter, TikTok,” paparnya.
Adapun di era Orde Baru, karena kekuasaan orde ini dominan, pengajiannya menjadi semi umum dan seperti multi level marketing. “Mencari kader kemudian membentuk lagi, cari kader lagi, dan lain sebagainya,” ungkap alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Sekarang sistemnya selain menggunakan multi level marketing, pengajiannya semi umum, dan juga terbuka. Orang pada umumnya dulu memahami hijrah sebagai pertobatan.
Baca sambungan di halaman 2: Tren Hijrah Populer