Perempuan Berkemajuan
Saat menjawab salah satu pertanyaan dari jamaah Indonesia bernama Nur Reformawati terkait pandangannya terhadap feminisme, Nahla sepakat, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengambil peran.
“Kita sebagai perempuan di zaman ini silakan ambil peran dalam bidang apa saja. Kita bisa mengambil peran sesuai bidang kita masing-masing dan tidak ada larangan dalam hal itu,” jawab Nahla.
Dia juga menjelaskan, kondisi perlakuan terhadap perempuan saat ini sudah jauh berkembang. “Di Mesir ada pasal Undang-Undang yang memberi kesempatan perempuan untuk berkarya sama dengan laki-laki. Di al-Azhar sekarang juga banyak kaum wanita yang menjadi pimpinan seperti wakil dekan. Al-Azhar sangat menghargai posisi perempuan sesuai perannya. Untuk sampai pada posisi itu, perempuan harus punya pendukung, pemahaman masyarakat yang baik,” imbuhnya.
Perempuan berkemajuan itu, sambung Nahla, tidak mungkin maju sendirian. Pasti mengajak komunitasnya. Nahla tidak menemui perempuan berkemajuan yang tidak membawa isu strategis untuk hidup bersama. “Dari kegelapan menuju cahaya kebenaran, yakni cahaya kemaslahatan sosial, politik, budaya, dan lainnya,” lanjutnya.
Nahla menekankan, “Perempuan berkemajuan di masa lampau telah membuat perempuan saat ini berdaya. Demikian kita juga harus berdaya untuk masa depan perempuan juga!”
Prof Din Syamsuddin di akhir pengajian malam itu menyampaikan tanggapannya. Dia sepakat dengan istilah perempuan mencerahkan yang disebut Nahla dalam bahasa Arab: nisa musyariqat.
“Sang Pencerah dari kalangan perempuan. Musyariqat dari kata syirq yaitu Timur, tempat matahari terbit. Bagaikan matahari atau sang surya yang bersinar terang. Inilah yang harus dilakukan kaum perempuan pada masa sekarang. Menjadi agen pencerahan peradaban. Shalihatul khadarah, pencipta peradaban,” ujarnya.
Prof Din menegaskan, peran perempuan sangat penting, terutama setelah pandemi dan memulai peradaban baru yang disebut kehidupan new normal. “Perempuan ini bukan sekadar ‘imadul bilad‘ (tiang negara) tapi ‘imadul hadharah‘ (tiang peradaban) yakni peradaban Islam yang baru ini,” tutupnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni