Teladan Dakwah Kiai Dahlan; Oleh Abdullah Sidiq Notonegoro, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Digital (MPID) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
PWMU.CO – Salah satu stimulus Kiai Haji Ahmad Dahlan untuk memiliki semangat dan tekad besar mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah adalah Quran Surat Ali Imroa 104 — yang bunyi artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Melalui ayat inilah Kiai Dahlan tergerak untuk melakukan gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar.
Model dakwah yang pertama dilakukan oleh Kiai Dahlan ialah dakwah bil lisan, yaitu dakwah melalui ucapan. Dakwah bil lisan ini tidak sekadar ceramah dan khotbah melalui mimbar-mimbar masjid atau pengajian, tetapi juga melalui seminar, diskusi dan nasihat-nasihat. Jika disederhanakan, dakwah bil lisan merupakan dakwah melalui ucapan atau kata-kata.
Dalam perjalanan hidupnya, Kiai Dahlan sangat dekat dengan literatur-literatur para pembaharu Muslim, seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, dan Jamaluddin al-Afghani. Melalui kemampuan membaca yang baik itulah, kecerdasan Kiai Dahlan mewujud dalam gagasan-gagasan yang cerdas. Di antaranya memformulasikan sistem pendidikan Barat dan pesantren atau pendidikan umum dan agama. Itulah salah satu karya intelektual yang nyata Kiai Dahlan dalam bidang pendidikan (Abdul Mu’ti, et.al, 2015).
Bil Lisan Berdasar Pengetahuan
Kata atau ucapan Kiai Dahlan sarat makna dan sangat bijaksana, bukan amarah kebencian. Mengapa demikian? Karena kata yang diucapkan oleh Kiai Dahlan dilandaskan pada pengetahuan yang kuat dan baik. Mengutip dari ibtimes.id (25/01/2023), bacaan Kiai Dahlan antara lain: majalah Urwatul Wustqa yang berisi tentang pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam, majalah Al-Manar yang dari segi konten tidak jauh dari Urwatul Wustqa, dan majalah Al-Munir buah tangan Haji Rasul—yang merupakan kawan seperguruan Kiai Dahlan, dan ayah dari Buya Hamka.
“Kiai Dahlan tidak pernah ngambek, emosi atau marah-marah, apalagi sampai mengafir-kafirkan lawan diskusi atau debatnya”
Selain ketiga majalah tersebut, Kiai Dahlan juga menjadikan tiga karya Muhammad Abduh sebagai bahan bacaan, yaitu : 1) Risalah At-Tauhid, yang merupakan kitab teologi atau ilmu kalam yang ditulis dengan pedekatan rasionalitas; 2) Al-Islam wa an-Nasraniyyah ma’a al-ilmi al-madaniyyah (Islam dan Kristen memandang ilmu dan peradaban), yang berisi pandangan dua agama mengenai perkembangan ilmu pengetahuan saat itu; dan 3) Tafsir Juz Ammah yang merupakan pegangan guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 Hijriyah.
Juga kitab Izharul Haq karya Rahmatullah Hindi, Matan Al-Hikam karya ulama tasawuf Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, kitab qashaid al-aththasiyyah karya Abdul Aththas, dan masih banyak lagi.
Karena itu, yang keluar dari lisan Kiai Dahlan bukan kata atau kalimat yang tidak memiliki rujukan. Sehingga dalam diskusi atau perdebatan, Kiai Dahlan tidak pernah ngambek, emosi atau marah-marah, apalagi sampai mengafir-kafirkan lawan diskusi atau debatnya.
Ketika merenungi ayat demi ayat dari Quran, pikiran Kiai Dahlan pun hidup dan mampu mencerna kandungan ayat Quran yang dibacanya. Kiai Dahlan membaca ayat Quran bukan sebagai “dogma tekstual”, namun sebagai firman Ilahi yang sarat dengan pesan-pesan kontekstual. Maka sungguh disayangkan jika ada “tukang ceramah” yang sambil menyitir ayat Quran tapi justru akal pikirannya mati.
Baca sambungan di halaman 2: Dakwah bil Hal dan Spirit Al-Maun