Dakwah bil Hal dan Spirit Al-Maun
Kisah Kiai Dahlan yang mengajarkan Surat al-Maun selama berminggu-minggu dan berulang-ulang rasanya sudah sangat viral di kalangan warga Muhammadiyah, bahkan non-Muhammadiyah.
Setelah Kiai Dahlan mengajarkan dan memahamkan surat tujuh ayat itu, yang digambarkan dalam novel dan film “Sang Pencerah”, dan sepertinya tidak berbeda jauh dengan realitas yang dipraktikkan oleh Kiai Dahlan ialah menggerakkan santri-santrinya untuk mencari dan mengajak anak-anak yatim-piatu dan orang-orang miskin/gelandangan pulang, memandikan, memberi makan dan menyantuninya. Gerakan penyantunan tersebut kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Miskin Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
“Kesuksesan Kiai Dahlan dalam menggerakkan santrinya tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan memberikan pemahaman terhadap santrinya tentang teologi pembebasan (al-Maun)”
Seperti apakah praktik dakwah bil hal Kiai Dahlan? Di kisah tersebut bisa jadi Kiai Dahlan tidak terjun sendiri dari kampung ke kampung untuk mencari dan mengumpulkan anak yatim dan orang miskin, namun Kiai Dahlan menggerakkan santri-santrinya untuk melaksanakan tugas tersebut. Kesuksesan Kiai Dahlan dalam menggerakkan santrinya tidak bisa dipisahkan dari kesuksesan memberikan pemahaman terhadap santrinya tentang teologi pembebasan (al-Maun) tersebut.
Gerakan al-Maun di Muhammadiyah menjadi trade mark yang menarik, melahirkan kepercayaan publik yang sangat kuat karena kuatnya amanah yang dipegang para penggerak Muhammadiyah. Para sesepuh Muhammadiyah dahulu selalu menunjukkan dengan guyon bermutu (meminjam judul buku karya Abdul Mu’ti) terkait dengan komitmen amanah pimpinan Muhammadiyah.
JIka ada donatur yang membantu Muhammadiyah untuk membangun satu gedung, maka pimpinan Muhammadiyah pasti mampu mewujudkannya menjadi dua gedung dengan kualitas yang tidak berkurang. Pimpinan Muhammadiyah tidak mungkin mengkhianati amanah dari donatur. Itulah ciri pimpinan Muhammadiyah dalam urusan dakwah bil hal.
Memetik Hikmah
Menerjemahkan dakwah bil hal tidak bisa dipahami secara banal seolah-olah yang bicara (dakwah bil lisan) otomatis harus mampu mewujudkan dalam bentuk tindakan (dakwah bil hal) di lapangan oleh dirinya sendiri. Di situ sangat dibutuhkan kecerdasan dan keluwesan dalam memahami manajemen dakwah.
Dakwah bil lisan sesungguhnya tidak diwujudkan dengan ceramah yang berapi-api dan mulut berbusa-busa tetapi tidak menyentuh—apalagi menggerakkan hati. Dakwah bil lisan bisa berwujud diskusi atau berdebat dalam menemukan dan menyepakati tentang sebuah kebenaran. Sungguh naif jika seorang mubaligh yang berdiri di atas mimbar tapi kehadirannya hanya menggantikan seorang komedian (tukang melucu) atau seorang provokator (tukang membuat marah dan menghasut).
“Pimpinan Muhammadiyah itu telinganya harus lebar sehingga mampu mendengar segala hal dari sekitarnya”
Dakwah bil lisan yang diteladankan oleh Kiai Dahlan ialah dakwah monolog dan juga dialog dengan visi untuk memberikan pemahaman kepada obyek dakwah. Kehadiran Kiai Dahlan pun terasa sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang haus pengetahuan. Keikhlasan dan jauh dari kepentingan pribadi yang berbau pencitraan maupun kepentingan pragmatis lainnya sangatlah dibutuhkan oleh seorang pendakwah.
Pimpinan Muhammadiyah haruslah mampu menjadi penggerak organ-organ penting Persyarikatan. Karena itu, pimpinan Muhammadiyah itu telinganya harus lebar sehingga mampu mendengar segala hal dari sekitarnya. Daya pandang matanya harus mampu melihat bagian yang terdalam sehingga tidak mudah tertipu dengan pencitraan. Harusmemiliki kepekaan penciuman yang tajam agar tidak mudah tertipu dengan segala kebusukan yang terbungkus keelokan.
Terakhir, jika disebutkan bahwa ilmu yang tidak diamalkan ibarat butir-butir padi yang tidak segera dimasak agar bisa menjadi nasi dan bisa dimakan, maka sesungguhnya orang beramal tanpa ilmu pengetahuan itu ibarat orang yang tertipu seolah-olah butir padi padahal hanya seonggok sekam tanpa isi (Jawa: gabuk). (*)
Ediitor Mohammad Nurfatoni