Penyalahgunaan Koperasi Sekolah, Kolom oleh Prima Mari Kristanto, akuntan publik.
PWMU.CO – Sedang ramai di Surabaya dan beberapa kabupaten kota di Jawa Timur keluhan wali murid perihal seragam sekolah dari koperasi sekolah. Keluhannya harga seragam dianggap mahal.
Tidak tanggung-tanggung dua kepala daerah masing-masing Walikota Surabaya Eri Cahyadi dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tampil sebagai pembela masyarakat. Para kepala daerah yang peduli bahkan memerintahkan penghentian sebagian mal praktik koperasi, juga menawarkan seragam gratis sebagai solusi.
Sejarah Koperasi
Tanggal 12 Juli baru saja diperingati sebagai Hari Koperasi. Namun di bulan yang sama masyarakat dikejutkan dengan dugaan penyalahgunaan koperasi oleh banyak oknum sekolah. Menilik sejarah koperasi yang dibentuk kaum buruh industri pada akhir abad ke-19 untuk meringankan beban mereka dari hegemoni kapitalisme.
Di Indonesia gerakan koperasi dikenalkan Sarekat Dagang Islam sejak tahun 1905 dan Budi Utomo sejak tahun 1908. Pada masa pendudukan Jepang, Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin tokoh 4 serangkai, Soekarno, Mohammad Hatta, KH Mas Mansur, Ki Hajar Dewantara juga mengenalkan koperasi pada masyarakat. Dengan demikian sejarah koperasi di Indonesia tidak terlalu jauh dengan kemunculannya di Eropa.
Gerakan koperasi lebih intensif dengan ketokohan Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta yang mempelajari koperasi secara langsung ketika belajar di Belanda. Koperasi tumbuh subur di awal kemerdekaan sampai orde baru ditandai berdirinya KUD-KUD (Koperasi Unit Desa) membantu program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat hingga ke desa-desa. Selain di perdesaan yang berbasis masyarakat, koperasi tumbuh juga di lingkungan instansi pemerintah dan swasta sebagai koperasi pegawai atau karyawan.
Tidak ketinggalan di lingkungan sekolah dan pondok pesantren, juga masjid, gereja hadir koperasi sekolah, koperasi pondok pesantren (kopontren), koperasi masjid dan koperasi-koperasi berbasis komunitas atau jamaah keagamaan lainnya.
Motivasi berkoperasi para anggota di kalangan buruh industri Eropa awalnya sederhana, agar bisa memperoleh harga murah untuk pembelian kebutuhan hidupnya karena membeli dalam jumlah banyak, berorganisasi, berjamaah. Maka jika ada pengadaan seragam sekolah melalui koperasi dengan harga tinggi sangat jelas menyalahi “khittah” koperasi.
Masuknya gerakan koperasi di sekolah-sekolah, instansi pemerintah, swasta, pondok pesantren dan lain-lain bagus untuk menumbuhkan kesadaran koperasi. Tetapi jika terjadi mal praktik dalan penyelenggaraan koperasi tindakan tegas dari pemerintah menjadi kebutuhan. Kekuatan koperasi pada rapat anggota sering terdistorsi oleh oknum pengurus dan pengawas saja. Anggota koperasi yang seharusnya menjadi subjek, justeru dijadikan objek,pasar penjualan barang dan jasa saja, serta sumber modal berupa simpanan pokok, wajib, sukarela dan lain-lain jika ada.
Perlunya memeriksa akte-akte pendirian koperasi sekolah untuk mengetahui siapa saja anggota koperasi tersebut. Apakah siswa-siswa, atau hanya para guru dan beberapa komite koperasi sekolah sebagai anggota koperasi sekolah tersebut. Tanggung jawab semua pihak untuk mengembalikan jati diri koperasi guna memajukan kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan beberapa oknum distributor barang, jasa, pengurus, pengawas saja.
Pendidikan dan pengawasan pada koperasi perlu ditingkatkan untuk menanamkan kepedulian, wawasan tentang hak, kewajiban anggota, pengurus, pengawas koperasi. Koperasi sekolah harus mampu menjadi tempat menanamkan cinta pada koperasi, bukan menanamkan trauma pada koperasi di hari pertama sekolah dengan proses bisnis koperasi yang terkesan mengada-ada. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni