Pemimpin Gila Ide dan Kerja
Setelah perencanaan, kata Prof Din, separuh yang kedua ialah pelaksanaan. “Banyak di antara kita pintar merencanakan perbuatan, tapi tidak pintar memperbuatkan perkataan,” ungkapnya.
Dia lantas mengutip ash-Shaff ayat 3.
كَبُرَ مَقۡتًا عِنۡدَ اللّٰهِ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا مَا لَا تَفۡعَلُوۡنَ
“(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Prof Din yakin, hanya orang-orang yang memegang teguh amanah yang bisa melaksanakan perencanaan programnya. “Banyak yang mau menerima amanat, tetapi tidak amanah. Baik tidak mampu melaksanakan amanah dengan baik maupun yang melaksanakan amanah, tapi terjadi penyelewengan dan penyimpangan, itu juga tidak amanah,” terangnya.
Menindaklanjuti hal luar biasa yang dibahas dalam raker itu, Prof Din mengimbau mereka segera melaksanakannya. “Bisa dimulai dari mimpi. Karena salah satu watak Muhammadiyah, dari yang saya amati selama 15 tahun memimpin Muhammadiyah dan berkunjung ke daerah 3-4 kali per minggu, saya menyimpulkan perencanaan dan pelaksanaan program dengan baik apabila pimpinan Muhammadiyah punya dua sifat tambahan, yakni orgil dan bonek,” ungkapnya.
Orgil—singkatan orang gila—yang dia maksud ialah pemimpin yang punya ide gila. “Kekuatan Muhammadiyah itu ide! Jadilah orang yang gila ide! Seperti Malik Fadjar yang mampu mengubah lembah kumuh di Malang menjadi UMM. Itu ide gila! Lalu SMK Muhammadiyah Gondanglegi Malang, Pak Fahri pimpin sekolah kecil terpencil mampu bikin mobil hybrid solar car,” urainya.
“Mereka yang gila ide di Muhammadiyah bisa dihitung jari,” imbunya disambut tepuk tangan seluruh peserta.
Lulusan University of California ini meluruskan, pimpinan yang dia maksud bukan sekadar gila ide tapi juga gila kerja, namun bukan workaholic. “Kerja 24 jam bukan hanya kerja di kantor. Semangat kerja tinggi meski tidak ada dana, sebab pikiran dituangkan di proposal bisa jadi uang. Ini bagian dari change management dan change leadership!” imbuhnya.
Pemimpin Bonek
Prof Din mengaku ingin menulis memoar pemimpin Muhammadiyah baik organisasi ranting, cabang, daerah maupun lembaga amal usaha yang bisa maju. Berdasarkan hasil pengamatannya, pemimpin yang maju ini juga punya karakter bondo nekat (bonek).
“Bukan bonek suporter bola, tapi bonek bekerja dengan penuh tekad. Al–itiqat, penuh keyakinan. Itulah yang saya terapkan karena saya terpengaruh dengan Gontor. Sekali kita bertekad, tanṣurullāha yanṣurkum, jika menolong agama Allah maka jangan takut dengan siapa pun!” tuturnya.
Selain menerangkan kepemimpinan, Prof Din menambahkan perlu satu etos lagi di Muhammadiyah, yakni etos tidak mau kalah. “Bergairah dengan nuansa cemburu atau iri,” ungkap Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu ini.
Jika ada kader Muhammadiyah lihat kemajuan orang lain, dia menuturkan, maka muncul al–ghirah ala din. “Kalau mereka bisa, mengapa kita tidak bisa? Itulah semangat atau ghirahkarena iri. Saya mengamati beberapa cabang Muhammadiyah menerapkan prinsip ini,” pungkasnya.(*)
Penulis Muhammad Syaifudin Zuhri Editor Mohammad Nurfatoni/SN