PWMU.CO – Fikih Ikhtilaf dalam Perspektif Muhammadiyah dibahas dalam Pengajian Majelis Ahad Pagi Kiai Haji Ahmad Dahlan di Masjid Taqwa Kota Batu, Ahad (30/7/2023).
Pengajian topik Fikih Ikhtilaf ini diselenggarakan oleh Majelis Tabligh PDM Kota Batu menghadirkan Dwi Triyono SH, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Malang.
”Ikhtilaf artinya adalah perbedaan pendapat, pikiran. Dalam hal ini yang dimaksud fikih ikhtilaf adalah memahami perbedaaan yang ada dalam hukum Islam dan bagaimana kita menyikapinya,” tutur Ustadz Dwi mengawali kajian Ahad Pagi.
Berdasarkan Muktamar Khusus 1986 di Solo, sambung dia, dirumuskan 16 pokok manhaj tarjih. Namun Ustadz Dwi hanya memaparkan satu pokok. Yaitu pokok keempat manhaj tarjih berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan hanya Majelis Tarjih yang paling benar.
Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang lebih kuat. Koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat memberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat.
”Dengan demikian Majelis Tarjih akan mempertimbangkan untuk mengubah keputusan yang telah ditetapkan,” katanya.
Artinya, tambah dia, Muhammadiyah meyakini fatwa tarjih benar tapi tetap menghargai pendapat yang lain. Sebagai contoh, tentang bacaan basmalah dalam shalat dibaca jahr atau sir, posisinya adalah sama.
Hal itu berdasarkan revisi pada Muktamar Muhammadiyah di Malang, pada 8 Juli 2005. Sebelumnya bacaan basmalah dibaca sir, tapi setelah direvisi maka bacaan basmalah boleh dikeraskan, boleh dilirihkan.
Menurut dia, posisi Muhammadiyah ada di tengah. Menurut madzhab Hanafi, bacaan basmalah dipelankan. Menurut madzhab Maliki, bacaan basmalah tidak dibaca karena tidak termasuk bagian dari al-Fatihah.
Menurut madzhab Syafi’i, bacaan basmalah dibaca jahr. Sedangkan menurut madzhab Hambali, bacaan basmallah dibaca sir.
Setelah mengkaji pandangan empat madzhab tersebut yang didukung dengan dalil dan hadits sahih, maka Muhammadiyah mengambil keputusan tidak mengikuti salah satu tapi berada di tengah, membolehkan basmalah dibaca sir atau jahr.
”Sampai saat ini kebanyakan imam di mushala atau masjid Muhammadiyah tetap membaca bacaan basmalah secara sir, itu disebabkan belum tahu kalau ada revisi terhadap putusan sebelumnya. Maka sebaiknya, imam shalat menyikapi hal ini secara bijak,” ungkap Ustadz Dwi.
Contoh lain persoalan ikhtilaf adalah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan setelah wudhu, apakah membatalkan wudhu?
Menurut madzhab Hanafi, persentuhan kulit tidak membatalkan wudhu. Menurut madzhab Maliki, persentuhan jika tidak disertai syahwat tidak membatalkan wudu, kalau disertai syahwat membatalkan wudhu.
Menurut madzhab Syafi’i, membatalkan kalau bukan mahram. Kalau mahram tidak membatalkan wudu. Madzhab Hambali sama dengan Mazhab Maliki.
Keempat pandangan madzhab itu tentu sesuai dengan dalil yang sahih. Posisi Muhammadiyah, setelah mencermati pandangan empat madzhab tersebut, maka diambil keputusan kalau bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan setelah wudhu, tidak membatalkan wudu. Memilih mazhab Hanafi.
Kata Ustadz Dwi, dari dua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah tidak menganut madzhab tertentu, akan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap memperhatikan pandangan empat madzhab.
”Ikhtilaf di kalangan ulama menjadi rahmat untuk umat. Tapi kalau ikhtilaf di kalangan umat akan membuat gaduh karena umat mayoritas tidak paham ilmu dan dalil yang kuat. Jangan sampai kita hanya mengambil madzhabnya tanpa mengambil ilmunya. Idealnya, kita ambil ilmunya juga,” kata Ustadz Dwi.
Penulis Khoen Eka Editor Sugeng Purwanto