PWMU.CO – Beranjak dari bandara, peserta Muballigh Hijrah Internasional (MHI) Mu’allimin Yogyakarta dikumpulkan di masjid kompleks bandara indah nan-elok. Inilah awal perjalanan peserta MHI di Kampung Gumum, Tasik Chini, salah satu perkampungan terpencil yang terletak di Pahang, Malaysia.
”Awalnya, kami sempat kaget, karena rencana awal kami di tempatkan di pondok tahfidz. Eh, tak ada angin tak ada hujan tiba tiba di tempatkan di Pahang. Desa impian semua peserta MHI,” kata Muhammad Dzaky Amrullah, salah satu peserta MHI.
(Baca: Ketika Orang Lamongan “Kuasai” Muhammadiyah Cabang Istimewa Malaysia)
Dzaky bersama rekannya kemudian diantar oleh salah satu tuan rumah di Kuala Lumpur menggunakan mobil ke bangunan besar di Malaysia. ”Kami kira mau dibeliin barang, eh ternyata kami disuruh pergi sendiri ke Pahang. Lemas pokoknya, selemas-lemasnya. Bagaimana tak lemas, kami orang awam yang tak tau Malaysia disuruh pergi sendiri. Hei, sendiri bro. Tapi tak apa, siap tidak siap harus siap,” ujar Dzaky.
Pembawa panji Muhammadiyah ini pun berangkat sehabis shalat Ashar menuju Tasik Chini, Pahang, Malaysia dan tiba pada pukul 03.00 pagi. Setelahnya, mereka disambut hangat oleh Pak Cik Zamer selaku tuan rumah. Pak Cik Zamer kemudian mengajak Dzaky dan rekannya untuk shalat Jum’at, kebetulan waktunya hari Jum’at. Dan setelahnya, Dzaky dan rekannya diajak berkeliling ke Pekan, salah satu kota di Pahang, Malaysia.
”Pak cik sangat ramah pada kami, apapun dibelikan. Habis shalat Jum’at perut kami lapar seperti Harimau mencari mangsa, Pak Cik membawa kami makan di salah rumah makan India muslim,” tutur Dzaki.
(Baca juga: Para Santri Muallimin Yogyakarta Ini Hijrah Berdakwah ke Malaysia)
Dzaki menjelaskan bahwa antropologi masyarakat di Tasik Chini mayoritas tak beragama. Masyarakat asli Tasik Chini masih menganut animisme dan dinamisme. ”Perbandingan masyarakat di Tasik Cini, 100 muslim dan 600 tak beragama,” terangnya.
Lebih lanjut Dzaki menuturkan, menyambut datangnya bulan Ramadhan masyarakat muslim maupun yang tak beragama berbondong-bondong datang ke surau. Tujuannya, untuk sekedar ikut nimbrung dan makan-makan. Setelahnya, lanjut Dazki ketika waktu shalat isya’ dam terawih tiba, masyrakat Tasik Chini yang muslim banyak yang tidak ikut menjalakan shalat.
”Hanya sekitar 15 orang yang shalat tarawih. Termasuk kami. Mirisnya lagi, saat shalat subuh hanya kami bertiga dengan Pak Cik Zamer ditambah dengan anak Pak Cik yang menginap bersama kami,” ungkapnya.
(Baca juga: Saat 5 Anak Panah Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta Melesat ke Penanggungan Malang)
Sementara di waktu sore, Dzaki bersama dengan rekannya mendatangi murid dari rumah ke rumah, untuk menghadirkan ke surau. Mereka dibantu oleh Pak Cik Zamer. Bahkan, untuk menghadirkan anak-anak itu ke surau, Pak Cik Zamer harus memberikan uang 1 Ringgit Malaysia sebagai embel-embel buat uang lebaran.
”Di Tasik Chini hubungan antara Islam dan orang yang tak beragama berlangsung damai dan penuh toleransi. Bahkan, dalam satu keluarga ada anak kecil yang beragama Islam. Begitu juga sebaliknya,” jelasnya.
Dzaki mengungkapkan dakwah Pak Cik tidak hanya berbicara di atas mimbar yang mengharamkan ini atau itu, mengkafirkan yang tidak shalat. Akan tetapi Pak Cik Zamer lebih menekankan pada dakwah bilhal atau biasa disebut dakwah dengan perbuatan.
”Bayangin saja, yang memberi segala kegiatan keruhanian itu Pak Cik Zamer. Mulai dari makan, buku, properti surau, dan lainnya. Jadi inilah kondisi saudara kita di Tasik Chini. Butuh perjuangan ekstra untuk menyebarkan nilai-nilai Islam,” tuturnya.
Tugas peserta MHI, sebut Dzaki fokus dengan hal-hal kecil. Bukan sesuatu hal yang besar. Contohnya, memberi salam pada teman, makan menggunakan tangan kanan. ”Intinya, kami mengajarkan adab orang Islam. Yang paling penting adalah menanamkan tauhid,” urainya. (Sutan Soripada Mulia Harahap)