Lawan Kritik dengan Kritik seperti Sukarno Versus A. Hassan Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Belakangan ini, bersikap biasa terhadap perbedaan pendapat makin terasa jauh. Misal, sejumlah acara Rocky Gerung mengalami hambatan dan atau penolakan.
Agak ke belakang lagi, acara Ustadz Bachtiar Nasir di Malang pernah mendapat ganjalan. Acara Ustadz Felix Siauw di kota yang sama, beberapa waktu sebelumnya, juga mengalami hal yang serupa.
Sekadar menambah contoh, satu lagi. Pernah, kuliah umum dari Ustadz Abdul Somad di sebuah kampus ternama di Yogyakarta, batal.
Empat nama tokoh di atas dikenal sebagai bagian dari orang-orang kritis. Mereka berani menyuarakan kebenaran semata-mata untuk kebaikan bersama.
Di titik ini, biasanya “suara kritis” akan berhadapan dengan “kelompok status quo”. Maka, menarik pertanyaan ini: Apa sikap terbaik dalam menghadapi perbedaan pendapat?
Buka Sejarah
Di pertukaran gagasan, biasa jika berbeda perspektif. Oleh karena itu, silakan, kata kita lawan dengan kata. Artikel kita lawan artikel bahkan dengan buku. Pidato kita lawan dengan media apa pun yang bisa kita pilih.
Bukankah, bahkan kala masih di bawah tekanan penjajah, para pendiri bangsa ini telah terbiasa bertukar pikiran? Mereka tak menabukan polemik bahkan debat.
Tema polemik mereka macam-macam. Ada masalah relasi agama dan negara. Ada soal pemahaman keagamaan, dan lain-lain.
Ada yang menarik! Sebelum dan setelah berpolemik atau berdebat, mereka tetap bersahabat.
Kita cermati polemik A. Hassan dengan Sukarno, di sekitar 1938-1940. Meski A.Hassan bersahabat dengan Sukarno, dia tak segan-segan mengritik Soekarno yang begitu mengidolakan sekularisasi (paham yang diusung tokoh sekuler Turki Mustafa Kamal Attaturk).
Semua berawal dari tulisan-tulisan Sukarno di Panji Islam. Di majalah itu, Sukarno menulis antara lain: 1). Me-”muda”-kan Pengertian Islam. 2). Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara. 3). Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara.
Intinya, Soekarno ingin ada pembaruan di dalam Islam. Untuk itu Sukarno banyak merujuk ke Turki di bawah pimpinan Kemal Attaturk. “Modernisme, modernisasi dan rethinking of Islam,” itulah yang terus diteriakkan Sukarno.
Kala itu, banyak intelektual Muslim yang mengritisi tulisan Sukarno. Misalnya A.Hassan. Sang ulama merespons Sukarno lewat tulisan, Membudakkan Pengertian Islam. Itu dimuat berseri di majalah Al-Lisan.
Bagi A. Hassan, Islam tak bisa dipisahkan dari urusan negara. Lebih jauh, tentang ini ada di buku Islam dan Kebangsaan.
Baca sambungan di halaman 2: Natsir Versus Sukarno