Natsir Versus Sukarno
Sementara, Natsir—murid A. Hassan—khusus menanggapi tulisan Sukarno yang berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara. Tema debatnya, tentang cara menyucikan panci yang air di dalamnya dijilat anjing.
“Buanglah air itu dan cucilah panci beberapa kali sampai bersih serta gunakan sabun dan kreolin,” kata Sukarno. Ini, karena “Di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin,” jelas Soekarno.
Bagaimana tanggapan Natsir? Menurut dia, tidak ada keterangan bahwa jilatan anjing itu najis. Oleh karena itu mencuci panci / bejana tujuh kali dan salah satunya dicampur tanah tidak bisa disamakan dengan menghilangkan najis yang telah kita ketahui, yang cara membersihkannya diserahkan kepada kita.
“Kita harus beranggapan,” tulis Natsir, “Bahwa mencuci dengan tanah itu sebagai satu upacara (ritus) yang sudah diatur cara-caranya”. Mencuci dengan sabun dan kreolin saja, sekadar menjaga kebersihan, itu sudah cukup. Akan tetapi untuk menyempurnakan suruhan agama yang harus kita terima dengan ta’abbudi, cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih sampai enam kali. Sekarang, bila khawatir kalau-kalau pada bekas jilatan anjing itu ada bakteri-bakteri, cuci pulalah sekali lagi dengan kreolin atau yang semacam itu, jelas Natsir.
Sukarno Versus Agus Salim
Berikut ini contoh lain, pidato dilawan tulisan. Bahwa, sejak Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927, dia makin rajin mengampanyekan gagasan nasionalisme Indonesia. Dalam sebuah rapat terbuka, Sukarno antara lain mengatakan:
“Ibumu Indonesia teramat cantik. Cantik langitnya dan buminya, cantik gunungnya dan rimbanya, cantik lautnya dan sungainya, cantik sawah dan ladangnya, cantik gurunnya dan padangnya. …. Ibumu Indonesia teramat baik. ….. Maka tidak lebih dari wajibmu apabila kamu memperhambakan, membudakkan dirimu kepada ibumu Indonesia, menjadi putra yang mengikhlaskan setiamu kepadanya” (Hakiem, 2019: 74).
Pidato Sukarno itu ditanggapi Agus Salim lewat tulisannya di harian Fajar Asia edisi 29 Juli 1928. Bagi Agus Salim, segala pujian Sukarno kepada “Ibu Indonesia” memiliki alasan yang benar tapi tujuannya tidak benar.
Menurut Agus Salim, seperti dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia, demikian juga dalam cinta Tanah Air. Kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batas dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah. Singkat kata, atas dasar karena Allah, maka cinta kepada “Ibu Indonesia” tidak tergantung kepada cantik, sehat, atau kayanya sang Ibu Indonesia.
Rasyidi contoh tokoh kritis yang lain. Atas pendapat Nurcholish Madjid soal konsep sekularisasi, Rasyidi menulis buku pada 1972: Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.
Rasyidi juga mengritisi pemikiran Harun Nasution di buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Pada 1977 Rasyidi menanggapinya lewat buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Adakah berita bahwa tokoh-tokoh kritis di atas yaitu A.Hassan, Natsir, Agus Salim, dan Rasyidi diintimidasi? Adakah yang dipersekusi? Tak ada!
Sekarang, masyarakat mengenang mereka sebagai tokoh teladan. Mereka punya ilmu dan keberanian berpendapat.
Alhasil, duhai para pemilik akal sehat, berpolemiklah! Berdebatlah! Selalulah warnai Indonesia dengan pertukaran gagasan yang menggairahkan! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni