Baju Adat Jokowi dan Anies Baswedan

Presiden Joko Widodo (kiri) dan Anies Baswedan dengan pakaian adat Jawa. (Foto Jokowi oleh Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden)

Baju Adat Jokowi dan Anies Baswedan; Oleh Prima Mari Kristanto

PWMU.CO – Baju-baju adat mendapat tempat terhormat di era pemerintahan Presiden Jokowi. Sejak menjadi Presiden tahun 2014, Jokowi beserta pejabat negara konsisten mengenakan baju adat dalam peringatan Hari Kemerdekaan.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus dan upacara Detik-detik Proklamasi 17 Agustus baju-baju adat tampak menghiasi podium utama gedung DPR/MPR dan Istana Negara. Pada 16 Agustus 2023 Presiden membacakan pidato kenegaraan dengan mengenakan baju adat Maluku. Kemudian tanggal 17 Agustus 2023 pada upacara peringatan detik-detik Proklamasi Presiden mengenakan baju adat raja Jawa. 

Pada kesempatan yang sama di tempat berbeda, bakal calon presiden Anies Baswedan memperingati Detik-Detik Proklamasi bersama masyarakat Lebak Bulus Jakarta Selatan. Mengenakan baju Jawa “Surjan” bermotif lurik coklat dan blangkon, sosok Anies Baswedan tampak elegan dan merakyat. Baju adat Jokowi dan Anies Baswedan sama-sama baju adat Jawa tetapi beda “kasta”. Dengan baju yang dikenakan, Jokowi tampak sebagai sosok ningrat yang terhormat setara Raja Kasultanan Surakarta Hadiningrat Abad ke-18. 

Sementara baju adat Jawa “Surjan” yang dikenakan Anies Baswedan mengingatkan pada sosok Sunan Kalijogo sang perancang, abdi dalem keraton, tentara Mataram, kusir delman sampai para dalang wayang kulit. Baju adat yang dikenakan Anies Baswedan dilestarikan oleh pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pakaian wajib setiap Kamis Pahing di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.   

“Surjan lurik ini pertama kali dibuat oleh Sunan Kalijaga sebagai pakaian takwa. Kata lurik berasal dari kata lorek yang berarti garis-garis melambangkan kesederhanaan.”

Baju Surjan yang dikenakan Anies Baswedan merupakan pakaian adat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pakaian ini biasanya digunakan oleh laki-laki meski banyak juga para perempuan yang mengenakan Surjan dalam bentuk kebaya. Pakaian ini digunakan pada saat pelaksanaan upacara adat yang dipadukan dengan kain jarik dan juga blangkon. 

Surjan merupakan pakaian Takwa, hal ini berdasarkannya sebuah ayat al-Quran yang oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat tersebut di jadikan acuan model baju rohani atau takwa. Jika memakai pakaian ini diharapkan tetap mengingat sang Pencipta. Motif pakaian adat ini pada awalnya hanya satu yaitu lurik.

Surjan lurik ini pertama kali dibuat oleh Sunan Kalijaga sebagai pakaian takwa. Kata lurik berasal dari kata lorek yang berarti garis-garis melambangkan kesederhanaan. Di dalam keraton ukuran garis-garis atau lurik ini melambangkan jabatan si pemakai. Semakin besar lurik tersebut semakin besar pula jabatanya. 

Setiap bagian dari “Surjan” memiliki filosofi seperti, pada bagian leher baju mempunyai 6 buah kancing yang mewakili rukun iman dalam agama Islam. Kancing Pada bagian dada yang terletak di kiri dan kanan melambangkan dua kalimat syahadat. Tiga kancing yang terletak di bagian dalam dada dan tak terlihat mewakili 3 macam nafsu manusia yang harusnya selalu di kontrol dan ditutupi oleh manusia. Nafsu hewani, nafsu makan dan minum, dan nafsu setan. 

Baca sambungan di halaman 2: Ajining Raga Saka Busana

Presiden Joko Widodo (kiri) dan Anies Baswedan dengan pakaian adat Jawa. (Foto Jokowi oleh Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden)

Ajining Raga Saka Busana

Dengan demikian jika membaca ihwal perancangan dan filosofinya baju takwa bukan hanya milik orang Jawa. Baju Surjan bisa menjadi baju seluruh insan yang bertakwa apapun agamanya. Demikian juga baju “koko” yang sering disamakan dengan baju takwa karena sama-sama identik dengan pakaian pria Muslim. Padahal jika dicermati dari namanya “koko” merupakan sapaan untuk pria Tionghoa yang berarti kakak.

Baju “koko” sukses menjadi trend setter busana Muslim pria di Indonesia dengan ciri khas pada kerah leher kecil,pendek dan bordiran beragam motif. Dalam urusan baju ibadah umat Islam, pamor baju “koko” bahkan mengalahkan baju takwa dan baju batik khas Nusantara, juga mengalahkan baju-baju khas Timur Tengah berbentuk jubah, gamis dan sebagainya.

Pepatah Jawa “Ajining Raga Saka Busana” yang artinya kepribadian seseorang tercermin dari pakaian yang dikenakan menunjukkan baju sebagai bagian penting kehidupan. Bagi orang jawa pakaian bukan sekedar penutup badan, pakaian bisa memancarkan karakter pemakainya.

“Pakaian-pakaian adat Nusantara bisa masuk kategori syar’i sepanjang memenuhi kaidah syariat baik asli maupun melalui modifikasi.”

Islam mengajarkan pakaian harus menutup aurat dan menghindari tasyabuh, menyerupai kaum tertentu yang sekiranya jauh dari nilai-nilai Islam bahkan memusuhi Islam. Pakaian syar’i tidak harus menyerupai pakaian bangsa arab sebagai produk budaya arab.

Pakaian-pakaian adat Nusantara bisa masuk kategori syar’i sepanjang memenuhi kaidah syariat baik asli maupun melalui modifikasi. Baju takwa, baju koko dan sebagianya menunjukkan demikian kaya khazanah budaya Nusantara. 

Baju adat bisa menjadi wasilah mengenal adat istiadat Nusantara yang beragam dan beraneka warna. Adat istiadat mempunyai kandungan nilai-nilai luhur cipta, karsa, karya leluhur bangsa yang tinggi dan agung.

Baca sambungan di halaman 3: Nilai Luhur Kearifan Lokal

Presiden Joko Widodo (kiri) dan Anies Baswedan dengan pakaian adat Jawa. (Foto Jokowi oleh Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden)

Nilai Luhur Kearifan Lokal

Tinggi dan agungnya nilai-nilai luhur adat istiadat tampak secara fisik maupun nonfisik berupa bangunan candi Borobudur, Prambanan, pura di Bali, Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kota Gedhe, Masjid Gedhe Kauman, bangunan-bangunan keraton, warisan seni, budaya, norma-norma tata krama dan sebagainya. Kekayaan dan perbedaan adat istiadat yang dipersatukan dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.  

Dengan mengenal adat istiadat masyarakat di seluruh penjuru Nusantara melalui baju adat, kebijakan-kebijakan pembangunan sudah seharusnya menghormati nilai-nilai luhur kearifan lokal dan adat istiadat. Proyek Strategis Nasional yang diandalkan Pemerintahan Jokowi ditengarai banyak mengabaikan nilai-nilai luhur masyarakat adat khususnya dalam penguasaan aset.

Tidak mungkin seluruh masyarakat adat memiliki sertifikat atas aset tanah, kebun, hutan termasuk ternak barangkali sebagai sumber mata pencaharian mereka. Sangat tidak pantas menganggap masyarakat adat sebagai masyarakat primitif atau masyarakat liar karena tidak memiliki dokumen administratif kepemilikan tanah, lahan, hutan dan lain-lain.

“Menghargai adat istiadat Nusantara tidak cukup dengan mengenakan baju adat di acara-acara kenegaraan.”

Tanda keabsahan kepemilikan aset masing-masing adat pasti berbeda-beda, tidak bisa dipukul rata menggunakan logika negara. Demikian juga dengan budaya dan tata cara mengelola alam untuk kehidupannya.

Pertanian, perkebunan, perikanan bahkan pertambangan skala rakyat tidak seharusnya dimatikan demi ambisi pertumbuhan ekonomi nasional. Jika proyek strategis nasional tidak membawa dampak positif bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat, perlu dipertanyakan motif serta tujuannya. 

Menghargai adat istiadat Nusantara tidak cukup dengan mengenakan baju adat di acara-acara kenegaraan. Kesejahteraan dan kelestarian adat istiadat dalam ekonomi, politik, budaya penting dijadikan prioritas dalam kegiatan pembangunan yang dikendalikan negara.

Adat istiadat bukan sekedar pelengkap festival dan karnaval dengan menampilkan baju-baju serta kesenian saja. Adat istiadat yang memiliki saham dalam menyusun Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 selayaknya dihargai eksistensi asset lahan, hutan, laut, masyarakat, norma-norma dan nilai-nilai luhurnya dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. 

Wallahualambishawab. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version