Gerakan Kebangkitan PKI
Dia menjelaskan, sesungguhnya sudah ada gerakan untuk mengupayakan kebangkitan PKI sejak runtuhnya Orde Baru. Secara legal gerakan komunisme terhalang oleh TAP MPR No 25 Tahun 1966 dan UU 27 tahun 1999 pasal 107 poin A sampai E. Namun, mereka tak kehabisan akal. Kelompok ini melakukan gerakan bawah tanah. Mereka berganti nama, simbol, dan kegiatan. Setelah Soeharto lengser, Bj Habibie kemudian naik menjadi presiden. Di tahun 1999, dia melepas semua tahanan politik (tapol) era Orba. Sejak itulah muncul komunitas-komunitas yang diduga beranggotakan eks PKI.
“Saya ingat pada tahun 2003, di Hotel Cempaka, Jakarta, para tapol (tahanan politik) ini mengadakan temu raya. Terkumpul sekitar 700 orang. Dari 700 itu ada yang dari Islam. Tapi jumlahnya tidak banyak. Yang banyak tapol (diduga) PKI. Dengan menggunakan istilah temu raya tapol, seakan-akan bukan acara mereka. Padahal itu orang-orangnya didominasi oleh kubunya. Dalam acara tersebut, melahirkan rekomendasi yang menyatakan bahwa mereka adalah korban tragedi 1965. Tentu orang Islam menolak rekomendasi itu,” terangnya.
Pertemuan tersebut menjadi trigger terbentuknya sejumlah organisasi yang berjuang untuk mendapatkan legalitas pengakuan sebagai korban 1965. Di antaranya adalah Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPKROB), dan Yayasan Penelitian Korban Peristiwa (YPKP) 65. Di era Presiden Megawati ada gagasan untuk membentuk RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Megawati kemudian menerima usulan tersebut.
“Tapi, sampai Megawati turun jabatan, RUU itu belum tuntas. Di era SBY pembahasan RUU itu dilanjutkan. CICS kemudian menggugat ke MK. Kami waktu itu dibantu pak Muhadjir Effendy (kini Menko PMK) mulai dari menyediakan penasihat hukum hingga tiket. Akhirnya gugatan kami diterima. RUU KKR dibatalkan. MK menyatakan RUU KKR bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Waktu itu Majelis Hakimnya Jimly Assiddiqy,” ujarnya.
Dia pun menyampaikan, Wantimpres SBY, Albert Hasibuan pernah menemuinya untuk menyampaikan rencana presiden meminta maaf pada anak-cucu PKI. Arukat kemudian meminta dibuatkan forum. Maka, terjadilah pertemuan di Kota Surabaya pada tahun 2012, antara Arukat cs yang berjumlah 26 orang dan sejumlah perwakilan dari pemerintah.
“Dalam pertemuan itu ada yang bertanya, siapa yang punya ide pertama kali pemerintah minta maaf? Utusan SBY menjawab bahwa ide itu dari presiden. Saya bilang, kalau sampai minta maaf kita lawan. Tiba-tiba beberapa hari kemudian Soekarwo (Mantan Gubernur Jatim) menyampaikan ke saya, kalau presiden tak jadi minta maaf,” ceritanya.
Tapi, di era Jokowi, rencana minta maaf itu muncul lagi bahkan juga ada yang mengajukan KKR Jilid 2. Mendengar kabar tersebut, CICS pun bergegas menemui DPR. “Saya dan MUI mendatangi DPR. Kami ditemui Fadli Zon yang masih menjabat Wakil Ketua DPR. Dia mengatakan, kalau pengajuan KKR bukan ide DPR, tapi pemerintah. Pembahasan itu sudah masuk dalam prolegnas nomor 13. Tapi, Alhamdulillah tidak dibahas sampai sekarang. Seandainya dibahas, tidak karuan apa yang terjadi,” paparnya.
Baca sambungan di halaman 3: Menyusup melalui Pendidikan