Menyusup melalui Pendidikan
Selain lewat undang-undang, rencana kebangkitan PKI juga menyusup dalam bidang pendidikan. Pemberontakan G 30S PKI telah dihapus dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KPK) tahun 2004. Terkait hal tersebut, CICS menemui Menteri Pendidikan yang pada waktu itu dijabat Bambang Sudibyo.
“Jawabannya, nggak masuk kurikulum itu kecil. Saya lalu katakan, Satu peluru ditembakkan untuk satu nyawa. Tapi satu kurikulum itu diganti dan dibuat senjata, maka sasarannya sekian generasi, mereka akan bisa jadi komunis,” ujarnya. Kemudian pada Kurikulum Nasional 2013, pengajaran di sekolah kembali memunculkan kata PKI.
Menurut dia, anak muda era sekarang banyak yang tidak paham bahkan terkontaminasi pemikiran liberal bahwa PKI adalah korban. Sementara itu, Mendikbud saat ini dicurigai akan menghapus sejarah pemberontakan G30 S PKI. Menganggap PKI sebagai korban. “Maka dari itu, perjuangan dalam sosialisasi ancaman komunis tidak boleh berhenti. Sejarah harus diluruskan kembali,” katanya.
Sementara itu pakar sejarah Unesa Prof Aminuddin Kasdi mengungkapkan, saat Wiranto sebagai Menko Polhukam (Presiden Jokowi Periode 1) dirinya terlibat dalam penulisan buku tentang pelanggaran HAM. Di sana ada PKI yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan menggunakan segala cara politik untuk merebut kekuasaan. Namun PKI kalah.
“Nah, kalah kok mau minta kompensasi. Kalau AS yang memimpin sekutu dalam Perang Dunia II mengalahkan Jerman, Italia dan Jepang kemudian minta ganti rugi itu wajar,” tegasnya saat ditemui di rumahnya kawasan Tenggilis Utara, Surabaya.
Yang membayar negara-negara yang menjadi penyebab perang. Kalau Jerman adalah Nazi di bawah Adolf Hitler, Jepang di bawah 7 Fraksi militer di bawah kekaisaran Jepang dan Italia di bawah Benigto Mussolini. Kemudian AS, Inggris dan Prancis minta ganti rugi kepada mereka yang kalah. Karena yang kalah itu yang menyebabkan perang dan menimbulkan korban dan kerugian material yang sangat besar.
“Sedangkan dalam kasus PKI ini aneh. Yang kalah kok malah minta ganti rugi. PKI itu menggunakan strategi menyesuaikan kondisi. Ketika mereka masih lemah, maka mereka melakukan aksi secara diam-diam. Ketika sudah mulai kuat mereka menusuk dari belakang, Kalau menusuk dari muka tidak apa-apa. Tahun 1965 itu PKI menusuk dari belakang yang menyakitkan dan mematikan. Kalau dari depan, mana dadamu, ini dadaku tidak mengapa. Jelas,” tandasnya.
Dalam pengamatan Aminuddin, banyak yang menganggap PKI itu korban bukan pelaku. Padahal merekalah yang membunuh Dewan Jenderal dan banyak ulama di daerah-daerah. PKI yakin karena mereka punya sekutu di DPR sekarang, seperti Ribka Tjiptaning yang menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Anak-anak PKI (ideologis) masuk parlemen. Mereka sekarang berjuang di balik kata-kata HAM dan demokratisasi. Sampai kemudian Presiden mengeluarkan Keppres No 17 Tahun 2022.
Selengkapnya, baca di Matan Edisi 206 September 2023. Info pemesanan Saudara Oki 08813109662 (*).
Editor Mohammad Nurfatoni