Pemikiran Islam Liberal di Muhammadiyah, Apa Bedanya dengan yang Lain? Oleh Pradana Boy ZTF
PWMU.CO – Pemikiran Islam di Indonesia selalu dinamis. Jika menggunakan satuan waktu dasawarsa sebagai patokan, maka tiap dasawarsa selalu memunculkan kata-kunci atau tren yang berbeda. Bukan hanya satu, tetapi beberapa kata-kunci atau tren.
Awal tahun 2000-an, pemikiran Islam di Indonesia ditandai dengan kelahiran sebuah genre yang dikenal dengan “Islam Liberal.” Sebagai sebuah istilah, ini memang kontroversial. Tetapi sebagai sebuah arus pemikiran, istilah “Islam Liberal” pada umumnya dirujuk, salah satunya, kepada orientasi kontekstual dalam memahami doktrin-doktrin dasar agama dan bagaimana menyelaraskan agama dengan tantangan perkembangan zaman.
Sebagai genre pemikiran, orientasi ini pun tumbuh berkembang di Muhammadiyah. Bukankah pembaruan yang menjadi urat nadi Gerakan Muhammadiyah juga bermaksud melakukan kontekstualisasi itu? Aksentuasi dalam menjalankan pilihan kontekstualisasi tentu berbeda-beda dosis. Maka tak heran ketika muncul sebutan-sebutan seperti Islam Liberal di Muhammadiyah, Kelompok sekuler di Muhammadiyah dan seterusnya.
Akan tetapi, rupanya dalam konteks Muhammadiyah, meskipun genre pemikiran dengan orientasi seperti di atas ada, penyebutan istilah “Islam Liberal”, kurang populer. Atau setidaknya kurang disukai oleh sebagian sarjana Muhammadiyah. Salah satu alasannya adalah istilah “liberal” mengandung makna pejoratif. Karena itu, istilah yang lebih disukai dalam konteks Muhammadiyah adalah progresif. Saya sendiri, dalam tesis master saya di Australian National University (ANU), Canberra, lebih memilih istilah “progresif”.
Dua Alasan Islam Progresif
Ada dua alasan yang melandasi pemilihan itu. Pertama, di samping pandangan pejoratif yang seringkali dihubungkan dengan istilah “liberal,” istilah ini secara sosiologis dipahami oleh sebagian masyarakat Indonesia dekat dengan makna destruksi dan karena itu mengandung unsur “di luar kontrol.”
Padahal, kehadiran orientasi pemikiran kontekstual di Muhammadiyah dari dasawarsa satu ke lainnya selalu bertujuan untuk melakukan perbaikan (ishlah) dan pembaruan (tajdid). Karena itu, penggunaan kata “liberal” dirasa akan lebih banyak menimbulkan efek negatif ketimbang positif. Kecuali, jika memang itu dimaksudkan untuk sekadar berwacana.
Kedua, dalam Muhammadiyah, pemikiran tidak terpisah dari tindakan. Memang, secara umum, seringkali ditemukan dikotomi antara al-fikr (pemikiran) dan al-‘amal (tindakan atau aksi). Sehingga sebagian pengkaji Muhammadiyah, sering memisahkan dimensi pemikiran dan aksi.
“Tidaklah mungkin tindakan-tindakan nyata yang diambil oleh Kiai Dahlan terjadi begitu saja di ruang hampa, tanpa melibatkan refleksi atas realitas sosial.”
Misalnya, tidak sedikit yang menggolongkan Kiai Ahmad Dahlan sebagai man of action (orang yang lebih suka bertindak) dan bukan man of thought (pemikir). Klasifikasi seperti ini tentu tidak lahir di ruang kosong. Pastilah ada argumen-argumen epsitemologis untuk mendukungnya. Akan tetapi secara pribadi, saya kurang setuju dengan penggolongan seperti ini.
Alasannya adalah karena tindakan tidak bisa dipisahkan dari pemikiran. Memang pemikiran sangat mungkin berhenti sebagai pemikiran, dan tidak berbuah dalam aksi atau tindakan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan tindakan. Sekecil apapun tindakan, pastilah diawali dengan pemikiran.
Apalagi tindakan sosial seperti pembaruan Islam yang dibawa oleh Kiai Dahlan. Maka, tidaklah mungkin tindakan-tindakan nyata yang diambil oleh Kiai Dahlan terjadi begitu saja di ruang hampa, tanpa melibatkan refleksi atas realitas sosial. Sementara, refleksi merupakan salah bentuk tertinggi dari pemikiran manusia.
Baca sambungan di halaman 2: Islam Progresif Beda dengen Islam Liberal