Makna 360 Lainnya
“Ternyata 360 derajat itu, satu putaran itu, juga merupakan satu rakaat gerakan kita pada saat shalat. Pada saat kita berdiri 180, pada saat kita rukuk 90, dan pada saat kita sujud dua kali dalam satu rakaat itu 90 juga. Jadi 180 + 180 = 360,” ungkapnya.
Maknanya, kata dr Tjatur, aspek kehidupan kita itu dasarnya harus merupakan aplikasi dari salat kita. “Selama ada pergerakan dari seseorang, maka saat itu diwajibkan untuk shalat. Selama ada detak jantung yang bergerak itu wajib untuk shalat. Maka aturan shalat itu mulai sikap sempurna sampai terus kemudian hanya berdasarkan isyarat mata saja masih wajib,” jelasnya.
Dia juga menyampaikan, shalat itu harus teraplikasi dalam kehidupan di 360 derajat kehidupan. “Itu harus dilandasi oleh Shalat. Orang-orang yang sabar itu adalah produk dari doa yang benar. Kenapa kok terus kemudian sabar dulu, baru shalat belakangnya? Ditambahi lagi Allah membersamai orang-orang yang sabar padahal yang dihisab pertama kali adalah shalat?” tanya dia retorik.
Dalam takaran medis teologis, seseorang yang shalatnya benar itu pasti akan jadi orang
yang sabar. “Orang-orang yang sabar itu adalah orang yang merupakan produk dar shalat yang benar. Nah kemudian saat Allah membersamai orang yang sabar itu sesungguhnya artinya membersamai orang yang shalat,” ungkapnya.
Jadi kalau ada diantara kita yang rutin shalat fardhu dan sunnah ternyata kok mudah marah, maka ada yang salah dengan shalatnya. “Maka shalat kita harus diperbaiki. Itu bukan hanya dalam tataran doanya yang khusyuk, tapi jauh sebelum itu. Misalkan waktu respon antara adzan dan shalat itu berapa lama, berapa lama siap-siap berangkat ke masjid,” imbuhnya.
Dia juga mengungkap, shalat itu luar biasa pembelajaran sabarnya. “Pasti nggak ada yang berani kan kalau Imam belum salam jenengan salam duluan?”
Sesungguhnya, permasalahan-permasalahan yang ada dalam konteks hubungan kita dengan manusia yang lain itu timbul karena hilangnya kesabaran. “Permasalahan hubungan antar manusia pada awalnya hampir 100 persen itu karena kemarahan itu tadi,” terangnya. (*)
Penulis Dian Rahayu Agustina dan Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni