Esai Inspiratif
“Menjadi santri pondok pesantren adalah impian, tetapi itu menjadi salah satu mimpi yang tak sampai. Sehingga menempa diri dengan terbuka terhadap diskusi dan nasihat menjadi salah satu cara untuk terus memperbaiki diri.” Demikian kalimat pembuka esai yang mengantarkan Fatma meraih juara.
Perempuan kelahiran Sugio, Lamongan, ini lantas berbagi pesan Pendiri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal yang menguatkan langkahnya sebagai guru. “Atthariqatu ahammu minal maddah, wal mudarrisu ahammu minat-thariqah, wa ruhul mudarris ahammu minal mudarris. Bahwa metode pembelajaran itu lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri,” tulisnya di esai sepanjang 2,5 halaman itu.
Peraih wisudawan terbaik Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) pada 2020 itu lantas menyatakan, raihan ini menghentikan langkahnya sejenak untuk merenung. “Merenungkan tentang apa perubahan yang harus dilakukan, jika tiada beda dengan lainnya maka tentu predikat tersebut tak bernilai adanya,” tulisnya.
“Sejak itu, komitmen menjadi guru bahagia mengantarkan saya pada kelas-kelas di luar kelas. Ialah mengajar tidak sekadar tentang nilai tetapi berupaya menjadikan setiap pertemuan bernilai. Baik di kelas (di sekolah) maupun forum-forum diskusi dengan beraneka ragam kajian,” lanjut guru yang sehari-harinya mengabdi di SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik itu.
Dia lantas menyebutkan bagaimana tawadhu dan berimbang sebagai identitas guru bahagia. “Sebagaimana Nasyiatul Aisyiyah menyiratkan kerendahan hati yang disimbolkan padi. Guru bahagia berkarakter terbuka terhadap ilmu pengetahuan, kerendahan hati yang membawa pada kehausan akan inovasi dan pembaharuan serta tak mudah merasa puas. Karena sejatinya saat mengajar, guru juga belajar,” terangnya.
Resmi sebagai alumnus Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) secara berurutan pada 2021, Fatma melanjutkan perkaderan menuju NA. “Bermuhammadiyah adalah wujud keberimbangan hidup kader. Karena tak sekadar berpikir untuk diri sendiri melainkan mau dan mampu menshodaqohkan waktunya untuk kemaslahatan ummat,” jelas Fatma.
Baginya, berliterasi juga menjadi jati diri kader. “Sehingga kering rasanya jika lama tiada goresan tinta. Di antara waktu mengajar dan bernasyiah, berkontribusi dalam bidang literasi juga kerap saya upayakan untuk berjalan beriringan. Menjadi kontributor portal berita PWMU.CO salah satunya,” ungkapnya.
Sejak berkuliah hingga kini, Fatma aktif menulis agenda sosial, sekolah, kegiatan di lingkungan Muhammadiyah hingga kilas balik kader. Dia menilai, aktivitas tersebut juga menjadi bagian dari keberimbangan hidup yang akan membantunya melatih gaya komunikasi saat mengajar.
Baca sambungan di halaman 3: Apresiasi Sekolah