Politik Nilai
Tawaran politik nilai sering kali ditertawakan sebagai hal yang sia-sia. Banyak yang bilang dalam politik praktis tidak butuh teori, tidak butuh nilai, tidak memerlukan idealisme. Yang dibutuhkan hanya kemenangan. Jika fokus utama politik hanya kemenangan, biasanya semua menjadi halal. Tidak memperhitungkan dari mana biaya politik, siapa yang menjadi mitra koalisi, dengan cara apa kekuasaan diperoleh, yang penting menang.
Padahal sebagai seorang Muslim kita diingatkan oleh Allah agar memilih cara yang benar dalam hal yang benar. “Dan katakanlah: ‘”‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.'” (al-Isra’: 80).
Islam mengajarkan meraih sesuatu secara benar, dengan cara yang benar, dan hanya bersandar pada kekuasaan Allah Sang Penolong. Tidak ada rumus dalam Islam raihlah kekuasaan dengan cara apapun agar kamu bisa berkuasa dan bisa berbuat kebenaran.
“Sebagai umat beragama tentu kita berharap lahirnya politisi yang terus berpegang pada nilai-nilai agama.”
Politik nilai memang terkesan klise dan tidak realistis. Bagaimana mungkin melawan keculasan politik dengan hanya mengandalkan kebaikan. Mungkin kita terbawa fiksi Mahabharata, di mana ketika memulai perang Basudewakrisna mengatakan bahwa kebohongan, kelicikan, dan tipu muslihat akan dilakukan dalam perang. Untuk meraih kebenaran maka ketidakbenaran akan dilakukan. Ini sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam yang seharusnya dipegangi oleh setiap Muslim.
Ambisi kemenangan sering kali nalar kabilah, ghanimah, maupun akidah menjadi nalar destruktif karena kehilangan nilai. Kehilangan nilai dari nalar kabilah, kehilangan nilai nalar ghanimah, bahkan kehilangan nalar akidah. Tidak heran jika yang muncul hanya nalar rimba politik yang pragmatis, destruktif, dan hanya mengejar keuntungan investasi politik belaka.
Nalar kabilah seharusnya melahirkan sistem partai yang egaliter dan profesional, politisi yang jujur, dan negarawan yang berprestasi. Bukan melahirkan petugas-petugas partai yang cupet pikir, sempit pergaulan, dan katak dalam tempurung yang pada gilirannya hanya melahirkan politisi sektarian yang serakah.
Nalar ghanimah semestinya melahirkan sistem pembiayaan politik yang produktif dan sustainable didasarkan pada pola pikir yang rasional dan objektif. Sedangkan nalar akiidah mestinya melahirkan politik nilai, bermoral, bermartabat ,dan berimbas pada kemaslahatan umat.
Sebagai umat beragama tentu kita berharap lahirnya politisi yang terus berpegang pada nilai-nilai agama, sebagai warga bangsa tentu berharap memiliki politisi yang memiliki nilai-nilai luhur Pancasila. Namun sayangnya kabilah, ghanimah, dan akidah masih akan menguasai nalar politik karena nilai yang semakin menipis. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni