Ditegur Din Syamsuddin
Prof Zahro melanjutkan, “Kemudian Pak Din meminta saya untuk mengimami shalat. Terus saya membaca jahr mulai alhamdulillahhi rabbil alamiiin dan seterusnya. Seperti kebiasaan saudara-saudara saya Muhammadiyah.”
“Setelah shalat saya ditegur. ‘Prof, bacaan basmalah-nya kok pelan?’ Jawabku, ‘Lho, jamaahnya ‘kan Muhammadiyah?’ Saya ditegur lagi. ‘Prof ‘kan NU, Prof tampil sebagaimana adanya saja.” Akhirnya saat shalat Isya’ saya mengimami shalat dengan cara membaca basmalah secara jahr (keras). Bahkan, kemudian saya diajak ziarah kubur, sesuatu yang jarang dilakukan warga Muhammadiyah. Bahkan saya diminta untuk memimpin doa. Muhammadiyah tidak melarang ziarah kubur, tetapi melarang cara-caranya yang tidak pas,”ungkapnya.
“Besan saya, Rektor Unmuh Bengkulu, meminta saya untuk mengimami shalat, karena makmumnya Muhammadiyah maka caranya saya sesuaikan dengan Muhammadiyah. Begitu juga ketika beliau ke rumah saya. Ketika beliau saya minta mengimami, beliau juga mengimami seperti caranya orang NU. Nggak ada masalah,” tambah Prof Zahro.
“Ingkang purun tahlil monggo, mboten purun tahlil monggo. Bedane namung berkat mawon. Sing mboten wonten undangan tahlil mboten angsal berkat,’ dia menambahkan. Artinya siapa tahlilan silakan, yang tidak tahlilan juga silakan. Sebab bedanya cuma berkat (makanan). Yang tidak dapat undangan tahlil didak dapat berkat.
Dia lalu menjelaskan adanya beragam doa dalam shalat. “Doa iftitah ada delapan. Lalu saat sujud ada beberapa macam bacaan. Muhammadiyah biasanya allahumma baid dan seterusnya. NU kabirau dan seterusnya. Ketika sujud juga ada lima belas macam bacaan. Tidak apa apa, Islam mengajarkan keberagaman, bukan keseragaman. Tentang bersedekap juga berbeda antara Madzhab Syafi’i, Maliki, atau Hambali dan Hanafi. Inilah Islam, luas, luwes tidak kaku tidak judes,” terang dia. (*)
Penulis Kamas Tantowi Editor Mohammad Nurfatoni