Bandwagon Effect dalam Pemilu oleh Zaidan Aufi Romadhoni, Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
PWMU.CO– Hiruk pikuk Pemilu 2024 terasa panas setelah ada deklarasi Capres-Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Masuknya Muhaimin Iskandar dari PKB membuat Koalisi Perubahan pecah. Partai Demokrat yang menggadang-gadang Agus Harimurti Yudhoyono menjadi cawapres memutuskan keluar. Koalisi perubahan menjadi gabungan Nasdem, PKS, dan PKB.
Deklarasi Anies-Muhaimin, menjadikan kubu Capres Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto sama-sama mematangkan koalisi mencari cawapres menuju masa pendaftaran ke KPU yang makin dekat.
Terlepas dari memanasnya suhu politik ini, ada baiknya mewaspadai mencegah munculnya bandwagon effect demi terciptanya Pemilu yang berkualitas menghasilkan terpilihnya pemimpin berintegritas.
Bandwagon effect merupakan fenomena psikologis yang menjadikan seseorang maupun kelompok mengikuti suatu kebiasaan atau tren tanpa mengetahui nilai dan kebenaran atas kebiasaan yang diikuti tersebut. Sederhananya, sekadar ikut-ikutan atau latah terhadap sesuatu yang tengah viral.
Istilah bandwagon effect muncul, sejarahnya berasal dari parade dan sirkus abad 19 di Amerika Serikat yang menggunakan kereta musik di atas ada pertunjukan band.
Kereta ini mendorong orang-orang bergabung meramaikan dan menikmati musik. Perkembangan berikutnya politisi yang ingin terkenal tampil di atas wagon supaya dikenal masyarakat saat Pemilu.
Pada akhirnya bandwagon dipakai memanipulasi dan memengaruhi orang agar bergabung dengan kebiasaan dalam politik atau perilaku konsumen.
Implikasinya, karena begitu banyak orang melakukannya, maka hal itu pasti baik, atau setidaknya dapat diterima oleh banyak orang. Fenomena ini memungkinkan setiap individu untuk tidak memeriksa ulang nilai-nilai dan kepercayaan mereka untuk melihat apakah tren yang sedang berlaku merupakan sesuatu yang mereka pilih.
Dalam perspektif politik, Pemilu di Indonesia mulai Pilpres, Pileg, Pilkada, Pilkades sangat mungkin dilanda fenomena bandwagon effect. Politisi memanfaatkan musik seperti dangdutan untuk memancing orang berkumpul. Tak pelak kampanye Pemilu tak lepas dari pentas dangdut dan joget ria.
Rakyat hanya diberi goyangan erotis penyanyi dangdut, yel-yel, dan janji politik yang tak masuk akal. Rakyatpun tak mau repot berpikir isi janji politik. Yang penting bisa asyik bergoyang terus. Apalagi bisa bergoyang bersama penyanyinya dan saat coblosan terima amplop serangan fajar.
Inilah fenomena bandwagon effect yang terjadi selama di zaman reformasi ini. Masyarakat yang sekadar ikut-ikutan dalam memilih politisi dan calon pejabat tanpa tahu nilai, visi misi, latar belakangnya.
Praktik semacam inilah yang kemudian memperkuat hasil survei Parameter Politik Indonesia pada tahun 2022, yang memberikan hasil, secara umum masyarakat Indonesia memilih presiden karena alasan yang bersifat emosional atau psikologis (52,7 persen) dibanding alasan rasional (30,1 persen) dan sosiologis (2,2 persen).
Pemilu benar-benar pesta demokrasi. Makan, minum, jogetan, janji manis, dan uang berseliweran. Masa bodoh dengan kualitas, integritas. Paling penting isi tas. Tak heran ketika para politisi menjabat lalu terdengar kabar ditangkap KPK karena terima suap atau korupsi.
Pesan al-Quran
Al-Quran berpesan untuk berpikir kritis dan tidak mengikuti arus begitu saja. Surah al-Baqarah ayat 170, Allah berfirman: Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan tetap mengikutinya jika nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?
Surat al-An’am ayat 116, Allah mengingatkan: Jika kamu menaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.
Al-Quran menekankan pentingnya penyelidikan dan penelitian sebelum menerima berita atau ikut dalam suatu tindakan. Hal ini berhubungan erat dengan prinsip keadilan dan kebenaran dalam Islam.
Sebagai seorang muslim, penting untuk tidak mudah terbawa oleh opini mayoritas tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral, etika, dan keadilan yang diajarkan oleh agama.
Kabar berkaitan capres yang kita dapat hendaknya tidak ditelan mentah-mentah, melainkan harus dicerna dengan matang dengan melakukan validasi kebenaran akan berita tersebut.
Pada akhirnya, setiap individu hendaknya dapat mempertimbangkan seluruh tindakan dan keputusan dengan berlandas pada moral dan agama, tidak terkecuali dalam keputusan memilih calon pemimpin.
Al-Quran surat al-Isrâ (17): 36 mengingatkan: Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.
Pergi ke pasar bersama Anies
Ganjar dan Prabowo ikut diajak
Sambut tahun politik dengan optimis
Pilih pemimpin haruslah bijak
Editor Sugeng Purwanto