PWMU.CO – Disabilitas atau difabel? Media Muhammadiyah sepakat gunakan kedua istilah itu sesuai konteks penggunaannya.
Hal ini dibahas pada sesi diskusi ‘Aktivasi Influencer dan Penulis Kampanye GEDSI’ yang digelar Program Inklusi Aisyiyah, Selasa (5/9/2023) pagi hingga sore.
Koordinator Program Inklusi Aisyiyah sekaligus Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah Dr Tri Hastuti Nur Rochimah SSos MSi mengungkap, wartawan kini harapannya sudah melek isu gender equality (kesetaraan gender), disability (disabilitas), social iinclusion (inklusi sosial) yang biasa disingkat GEDSI.
“Wartawan-wartawan yang lulus uji kompetensi itu juga harus punya perspektif gender dan GEDSI. Itu sudah menjadi materi uji. Ini menjadi isu besar ketika bicara tentang kesejahteraan, keadilan,” ungkapnya di hadapan peserta yang hadir tatap muka di SM Tower Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta, maupun secara daring melalui Zoom.
Di antara keenam penanya yang berpendapat di sesi diskusi itu, ada pertanyaan dari Redaksi Lenasamu Aan Ardianto tentang penyebutan disabilitas.
“Biasanya kita memakai istilah difabel bukan disabilitas. Di media kita, PP Muhammadiyah itu menggunakan kata difabel. Meskipun ini tidak sesuai dengan Undang-Undang,” ungkapnya.
Aan melanjutkan, “Pernah kita menerima rilis dari salah satu majelis itu menyebutnya sampai penyandang cacat. Artinya ini belum menjadi mainstream di kalangan Muhammadiyah sendiri.”
Kata Aan, ada kesepakatan di media PP Muhammadiyah untuk menggunakan istilah different ability (difabel). “Artinya perbedaan kemampuan, bukan ketidakmampuan (disabilitas). Untuk lebih menghargai mereka, memulai itu dengan cara-cara sederhana. Menggunakan penyebutan difabel, bukan disabel,” imbuhnya.
Baca sambungan di halaman 2: Tergantung Konteks