Tergantung Konteks
Terkait penggunaan istilah ini, pihaknya sudah coba memberikan insight ke majelis dan lembaga lain. “Saya berharap, ini menjadi kesepakatan kita di Muhammadiyah ini mau menggunakan disabel yang sesuai nomenklatur Undang-Undang atau difabel. Mungkin nanti bisa disepakati,” harapnya.
Moderator yang sehari-harinya menjadi Pemimpin Redaksi Suara Aisyiyah Hajar Nur Setyowati SS SThi MA menambahkan terkait istilah difabel. Dia juga pernah mendengar dari teman-teman SIGAP. “Yang menggulirkan itu termasuk nama yang sudah disebutkan Bu Tri: Pak Mansyur Fakih,” ungkapnya.
Wartawan Suara Aisyiyah Ahimsa W. Swadeshi SS akhirnya ikut mengungkapkan, dia pernah mengikuti pelatihan bersama Indo Relawan di mana salah satu materinya membahas istilah-istilah yang sensitif. “Dalam artian, orang yang menggunakan istilah ini berarti peka terhadap inklusivitas,” tuturnya.
Ahimsa menekankan, “Salah satu yang dibahas, penggunaan difabel dan disabilitas itu sama-sama bisa digunakan, tapi bergantung orientasi penggunaannya. Secara interaksi kita dengan teman-teman, difabel itu akan lebih empatik dan bersahabat.”
Tapi kalau konteksnya bicara hal yang perlu didorong seperti akses dan fasilitas, masih pakai istilah disabilitas. “Makanya di Undang-Undang masih pakai kata ini (disabilitas). Karena kita ingin menunjukkan bahwa ini masih perlu didorong, diisi, untuk memberikan kesetaraan,” ungkapnya.
Tri akhirnya menanggapi pembahasan tentang penyebutan ini. “Betul ketika kita one on one bergaul, memang kita menyebutnya different ability, difabel , orang dengan keammpuan yang berbeda,” terangnya.
Dia kemudian meluruskan, “Tadi saya menyebutnya people with disability (orang dengan disabilitas), tidak kata disabilitas saja, karena saya kira semua orang punya potensi disabilitas. Saya punya disabilitas kalau usia sudah 80.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni