PWMU.CO – Profesor asal Jepang Manabu Sato, dosen Universitas Tokyo hadir di tengah ratusan guru dan kepala sekolah Muhammadiyah se-Jawa Timur.
Dia menjadi pembicara Workshop Inquiry with Collaboration in School as Learning Community di Aula Mas Mansyur PWM Jatim, Ahad (10/9/2023).
Di sela acara wartawan cilik Alisha Putri Oktafaizah siswi kelas 5B SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Pucang Surabaya mendapat kesempatan mewawancara Prof Manabu.
Icha, panggilan akrab Alisha, berbicara dengan pengantar bahasa Jepang. Ia menanyakan bagaimana pendidikan di Jepang. Prof Manabu menjawab pendidikan di sana hampir sama dengan Indonesia.
Icha bertanya, “Lalu apa yang membedakan dengan pendidikan negara lain?”
Guru besar tersebut menjawab,”Pendidikan di Jepang sangat mementingkan semua pihak. Maka anak-anak baik pada orang lain. Guru pun baik pada anak-anak didiknya.”
Selanjutnya dia bertanya tentang pentingnya ujian masuk sekolah di Jepang. ”Tes ujian masuk sangat penting. Namun SD, SMP, SMA tidak ada ujian masuk. Barulah setelah SMA, kalau mau masuk universitas ada tes ujian masuknya,” jelasnya.
Terakhir, siswa Mudipat Icha meminta pesan Prof Manabu untuk anak Indonesia. ”Hati anak Indonesia sangat tulus dan jujur. Saya berharap kalian bisa tetap belajar menjadi seperti itu,” ucapnya sembari tersenyum.
Komunitas Belajar
Profesor asal Jepang Manabu Sato pada kegiatan Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, PNF dan Forum Guru Muhammadiyah (FGM) Jawa Timur memulai pembahasannya tentang pandemi yang membuat anak-anak mengalami learning loss.
“Pendidikan yang harusnya bisa dicapai 100% hanya bisa sampai 30% karena penutupan sekolah,” ucapnya.
Fenomena fake learning pun terjadi. Mereka datang ke sekolah tapi tidak dapat pelajaran. Mereka tampak tekun menulis. Tapi mereka tidak belajar dan mengambil manfaat dari situ.
Ia pun berbicara tentang Indonesia dari hasil analisis World Bank. Nilai tes Pisa Achivement anak Indonesia turun 16 poin dari sebelum pandemi.
70-75 siswa drop out dari keluarga yang mengalami masalah ekonomi. Anak perempuan pun banyak menjadi korban pernikahan dini.
Dari kondisi ini harus memikirkan tiap individu anak mendapat haknya untuk belajar.
Prof Manabu pun menjelaskan perbedaan revolusi industri 4.0 dan sebelumnya. Kalau sebelumnya, pekerjaan yang dilakukan oleh orang dengan pendidikan rendah, akhirnya digantikan oleh mesin. Namun revolusi kali ini, tenaga kerja yang pakai otak pun akan digantikan mesin.
“Makna yang bisa diambil adalah kita harus menyiapkan otak mereka untuk mengikuti zamannya,” pesan guru besar yang juga peneliti pendidikan ini. ”Maka komunitas belajar (SLC) bisa jadi salah satu upayanya.”
Komunitas belajar di Jepang atau yang disebut School at Learning Community (SLC) ini bukan metode tapi sebuah misi. Yang disebut sebagai SLC misinya adalah anak, guru, dan wali murid bisa saling belajar.
Ini yang disebut komunitas belajar. Untuk bisa mewujudkan komunitas belajar sebagai misi, ada tiga yang harus diterapkan. Yakni filosofi pendidikan publik, filosofi demokratis, filosofi hak mendapatkan pendidikan lebih tinggi.
Penulis Erfin Walida Rahmania Editor Sugeng Purwanto