Ayah yang Ulet Penuh Tanggung Jawab
Meski orang desa, Jerman tidak jadi petani. Pekerjaaannya adalah pedagang. Pernah punya toko kelontong dan berdagang polowijo. Juga sempat berjualan baju di Kupang NTT.
Kondisi ekonomi keluarga Jerman jatuh bangun karena usaha dagangnya jatuh bangun. Untuk menghidupi keluarga besarnya—juga menyekolahkan anak-anaknya—dia pernah menjadi kuli batu saat pembangunan Masjid Mujahidin di Jalan Perak Barat Surabaya tahun 1980-an atau mencari ikan di sungai. Hasilnya dijual di pasar desa yang ada di depan rumah.
Jerman juga pernah mencari (menambang) pasir di Bengawan Solo untuk dijual. Dia harus slurup (masuk ke air dengan menenggelamkan diri) dengan sekrop untuk mengambil pasir dan memindahkan ke perahu. Jerman juga pernah menjadi tukang ojek.
Menjadi makelar pengurusan perizinan mesin penggilingan padi dan makelar jual beli sepeda motor pun pernah dia lakoni. Di masa-masa akhir hidupnya, dia mendirikan sebuah CV untuk mengerjakan proyek pemberonjongan tanggul Bengawan Solo yang longsor di Desa Keduyung.
Soal jualan baju di Kupang, Nurfadlilah mengisahkan, “Dulu saat masih SMA, saya yang kulakan baju, jam tangan, dan lain-lain, bahkan emas, di Pasar Bong Kapasan. Sayangnya dagangan bapak di Kupang bangkrut karena terlalu percaya pada orang. Dagangannya dibawa orang dalam jumlah banyak, katanya dikulak, tapi nggak dibayar, dikemplang, orangnya hilang.”
Nurfadlilah menambahkan, ayahnya juga pernah jual jamu keliling dengan gerobak di Petemon Surabaya. Berbagai merek jamu seduh dijualnya. “Kalau kulakan jamu di Pasar Krembangan dan saya yang membuatkan sinom. Pulangnya jam sembilan malam. Uangnya saya yang disuruh menghitung. Waktu itu sehari dapat 5000-7000 rupiah,” kata Nurfadlilah yang saat itu, tahun 1979, baru lulus dari sekolah di SMA Muhamamdiyah 1 Surabaya.
Nurfadililah saat itu kos di Petemon Timur berama ayahnya. Dia disekolahkan Ahmad Thohir di Surabaya, agar bisa masuk ke fakultas kedokteran, meski akhirnya gagal karena waktu itu ada persyaratan tinggi badan.
Ada cerita menarik saat dia menjadi kuli batu di Masjid Mujahidin itu. Seperti dikisahkan Nurfadlilah, anak pertamanya. “Pernah pada hari raya Idul Fitri kami tangis-tangisan karena bapak tidak pulang ke rumah. Ternyata beliau tidak punya uang untuk ongkos transportasi dari Surabaya ke Keduyung,” kisahnya.
Mohammad Kholili punya cerita lain. Sering dia diajak menjala ikan dia malam hari di Bengawan Solo. “Pernah satu ketika, kami diganggu oleh kalap (sebutan warga desa bagi jin penghuni Bengawan Solo),” katanya.
Semua itu menujukkan tanggung jawab dan keuletan Ahmad Thohir yang juga tergambarkan saat dia berjuang di Muhammadiyah. Oleh karena itu, saat meninggal dunia, salah satu putranya, Mohammad Nurfatoni, dalam pidato mewakili keluarga mengatakan, “Bapak adalah pejuang kehidupan. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk memperjuangkan keluarga dengan segala suka dan duka. Juga perjuangannya untuk Persyarikatan.”
Meski sering miskin, Jerman tak mau anak-anaknya tidak sekolah. Degan berbagai upaya itu anak-anaknya sukses bersekolah hingga sebagian besar melanjutkan ke perguruan tinggi.
Baca sambungan di halaman 5: Pelanjut Dakwah