Rempang Bergejolak, Pakar Umsida: Optimalkan Mediasi; Penulis Romadhona S.
PWMU.CO – Ramai sejak awal bulan lalu, kerusuhan antara aparat gabungan TNI, Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP di Rempang, Kepulauan Riau dengan warga setempat memunculkan banyak korban, termasuk anak-anak. Pasalnya, gabungan aparat tersebut menggunakan gas air mata dan water cannon untuk meredakan konflik.
Bentrok bermula ketika terjadi pengukuran lahan yang akan digunakan untuk pengembangan sektor industri, perdagangan, dan pariwisata yang terintegrasi oleh BP Batam di daerah itu.
Warga yang mendiami tiga wilayah meliputi Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru harus direlokasi. Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha ini telah menyiapkan lahan baru untuk relokasi warga yang mampu menampung warga sekitar 7.000-10.000 jiwa.
Namun saat petugas mendatangi lokasi, warga Rempang meyakini bahwa lahan tersebut adalah bagian dari dalam kampung adat Melayu sehingga mereka menolak penggusuran.
Penolakan tersebut mengakibatkan cekcok antara warga Rempang dan aparat. Diduga sulit mengakomodisikan warga, aparat menembakkan gas air mata kepada warga. Akibatnya, tak hanya demonstran yang terkena gas air mata, tapi juga anak-anak di wilayah sekitar juga terkena imbas gas air mata yang terbawa angin. Kebanyakan mereka mengalami luka hingga pingsan.
Menanggapi masalah tersebut, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr Noor Fatimah SH MH mengatakan, “Penembakan gas air mata oleh aparat yang menimbulkan banyak korban, tentu mengingatkan kita pada trauma tragedi Kanjuruhan Malang. Aparat atau pemerintah daerah setempat seolah kurang persiapan dalam menyelenggarakan proyek tersebut. Alih-alih demi keuntungan ekonomi, namun justru menggunakan cara-cara yang kurang manusiawi.”
Penggunaan gas air mata, sambung Fatimah, harus benar-benar berpatokan pada aturan yang berlaku, dalam hal ini Perkapolri No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Peraturan Kapolri ini bertujuan untuk memberikan panduan untuk anggota Polri dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang membutuhkan penggunaan kekuatan sehingga terhindar dari tindakan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dia menjelaskan, dampak kerusuhan warga Rempang dengan aparat ini turut menarik atensi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyayangkan tindakan tersebut dan meminta agar aparat dan warga setempat lebih mengutamakan dengan cara diskusi. Selain itu, warga yang telah tertangkap aparat saat kerusuhan, diminta untuk membebaskannya.
Baca sambungan di halaman 2: Proyek Bermasalah